BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki tujuan dari perjuangan bangsa Indonesia yaitu untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, yaitu adanya kesejahteraan sosial yang merata dan menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Menurut R. Soesilo bahwa undang-undang tidak memberikan ketentuan apakah yang diartikan dengan penganiayaan itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 Pasal 351, masuk pula dalam pengertian penganiayaan adalah sengaja merusak kesehatan orang.
Penganiayaan yang dilakukan seorang guru terhadap anak murid di sekolah sudah sering kali terjadi dikarenakan ada beberapa alasannya yaitu tentang peningkatan kedisiplinan sehinga menimbulkan luka fisik maupun psikis seperti yang pernah dialami oleh salah satu siswa di SMPN 2 Donggo yang dipukul oleh gurunya sehinga menimbulkan luka ringan pada bagian tubuh sehingga orang tua siswa melaporkan tindakan kekerasan di Polsek sekitar, walaupun penyelesaian kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru dengan jalur damai akan tetapi menambah kasus tindakan kekerasan guru terhadap siswa disekolah.
Mengingat pentingnya peranan pendidikan bagi kemajuan suatu negara, masyarakat dan individu, maka tanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas pada hakekatnya tidak hanya menjadi urusan negara saja, tetapi juga tanggung jawab semua pihak sebagai komponen dari pembangunan. Masyarakat dalam hal ini diharapkan dapat berperan serta dalam mengelola pendidikan itu sendiri. Negara sebagai organisasi politik terbesar yang dibentuk oleh rakyat memang mempunyai tanggung jawab terbesar dalam hal penyelenggaraan pendidikan bagi warga negaranya.
Dalam tanggung jawab negara akan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negaranya secara eksplisit diatur dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, alinea keempat menyatakan tujuan nasional Negara Indonesia salah satunya adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”
Nampak dari pernyataan tersebut bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan, selanjutnya ditegaskan kembali dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dan dalam pasal 31 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam satu sistem pengajaran nasional”.
Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa dunia pendidikan merupakan dunia yang sarat akan nilai-nilai kebaikan (etika) dan nilai-nilai keindahan (estetika), bahkan secara ekstrem disebut sebagai dunia tanpa cela, karena dunia pendidikan merupakan dunia untuk mewujudkan manusia lebih tangguh, bermartabat dan bermoral akan tetapi kenyataannya yang terjadi seorang guru di suatu Sekolah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didik.
Adanya aturan dan Undang-undang Perlindungan Anak yaitu untuk meminimalisir tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah karena banyak guru yang terjerat oleh Undang-Undang ini. Guru yang mencubit atau menjewer, bahkan menampar apalagi hukuman fisik lainnya dalam proses pembelajaran disekolah, dengan undang-undang ini, bisa dikenakan sanksi sehingga guru takut untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Penanggulangan berbagai bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah diatur (menggunakan sarana hukum pidana) pada ketentuan pasal 351-355 KUHP, penganiayaan biasa 2 Tahun 8 bulan dengan denda 4.500, panganiayaan berat berencana 7 Tahun sampai 9 Tahun.
Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak secara khusus mengatur penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Selain pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014, setiap peraturan perundang-undangan di atas memiliki adressat (tujuan) yang berbeda satu sama lainnya yang tidak dikhususkan pada bidang pendidikan. Sedangkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk melindungi Sistem Pendidikan Nasional tidak sepenuhnya mengakomodir semua bentuk penyimpangan di bidang pendidikan.
Penjelasan di atas sangat berbeda dengan kenyataan yang ada bahwa berbagai bentuk kekerasan dalam lingkungan sekolah merupakan ancaman bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, sedangkan eksistensi hukum pidana yang mengatur masalah pendidikan ini masih relatif fragmentaris, maka penulisan karya tulis ini diharapkan dapat mengkaji berbagai kebijakan hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk mengurangi tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik dan menanggulangi bentuk-bentuk penyimpangan di bidang pendidikan.
Berdasarkan pada latar belakang masalah seperti dijelaskan di atas serta berbagai fenomena kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan khususnya di lingkungan sekolah saat ini, masalah tindak pidana kekerasan di lingkungan sekolah yang kerap dilakukan oleh guru terhadap anak didik perlu dilakukan penelitian secara mendalam. Oleh karena itu penulis memilih judul : TINDAKAN KEKERASAN GURU TERHADAP PESERTA DIDIK DI SMPN 2 DONGGO (Kajian Terhadap Pasal 351-355 KUHP).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat durumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Bentuk Kekerasan Guru Terhadap Peserta Didik Di SMPN 2 Donggo Dilihat Dari Pasal 351-355 KUHP.
2. Bagaimanakah Penerapan Pasal 351-355 KUHP Terhadap Tindakan Kekerasan Guru Di SMPN 2 Donggo?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk Mengetahui Bentuk Kekerasan Guru Terhadap Peserta Didik Di SMPN 2 Donggo Dilihat Dari Pasal 351-355 KUHP.
2. Untuk Mengetahui Bagaimanakah Penerapan Pasal 351-355 KUHP Terhadap Tindakan Kekerasan Guru Di SMPN 2 Donggo
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
a. Membantu para akademisi dalam upaya pengkajian dan pengembangan Ilmu Hukum Pidana
b. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan penanggulangan tindak pidana kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah, baik kebijakan legislatif maupun kebijakan aplikatif
c. Untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan “pidana dan pemidanaan” terutama yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dalam bidang hukum pidana yang berkaitan dengan pendidikan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan kepada instansi terkait dalam membuat kebijakan atau pembentuk Undang-Undang yang sampai saat ini masih dalam tahap pembahasan yang berupa sumbangan pemikiran dalam menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan tindak pidana dalam bidang pendidikan.
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat umum tentang Undang-Undang dalam dunia pendidikan terhadap tindakan kekerasan anak.
c. Memberikan bahan masukan bagi Guru selaku pelaku pendidikan dalam menghadapi perbuatan tindak pidana bidang pendidikan yang dapat merusak citra dunia pendidikan sehingga dapat diambil sikap tegas terhadap para pelaku tindak pidana bidang pendidikan untuk diproses sesuai dengan aturan yang berlaku.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Tinjauan Tentang Tindak Pidana
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindakan yang dapat dihukum (Chazawi, 2001).
Tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggung jawabkan, dapat disyaratkan kepada si pembuatnya atau pelaku (Simons, 2001: 106).
Sedangkan menurut Amir Ilyas (2012: 18) yaitu tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana
a. Unsur-unsur subjektif
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: (1) Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa), (2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP, mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri (3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain, (4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun penjara (Sudarto, 1990: 594)
b. Unsur-unsur objektif
Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : (1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid, (2) Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP, (3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (P.A.F Dasar-Dasar Hukum Pidana, 1997: 193)
2.2 Tinjauan Tentang Kekerasan
2.2.1 Pengertian Kekerasan
Kekerasan merupakan perlakuan menyimpang yang mengakibatkan luka dan menyakiti orang lain. Menurut Chawazi (2001) tindak kekerasan sama juga pengertiannya dengan penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, sedangkan kekerasan menurut Zakariah Idris (1998 : 452) Perihal yang berciri dan bersifat keras atau perbuatan seseorang dan sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
Menurut penjelasan diatas, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur penting yang harus ada berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan dari pihak lain yang dilukai.
Kekerasan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “violence”. Secara etimologis, kata violence merupakan gabungan dari kata “vis” yang berarti daya atau kekuatan dan “latus” yang berasal dari kata “ferre” yang berarti membawa. Jadi yang dimaksud dengan violence adalah membawa kekuatan (Windu, 1992 ). Saraswati (dalam Malinda, 2008) mengungkapkan, kekerasan adalah “bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang, yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain.
Kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikis yang tidak berakibat pada fisik korban, namun berakibat pada timbulnya trauma berkepanjangan pada diri korban”. Kekerasan dalam pengertian yang sempit mengandung makna “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau serangan penghancuran perasaan yang sangat keras, kejam, dan ganas atas diri atau sesuatu yang secara pontensial dimiliki seseorang” (Windu, 1992). Menurut penjelasan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (dalam Chazawi, 2001) penganiayaan atau tindak kekerasan adalah: 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain. 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan pada orang lain.
2.2.2 Macam-macam Tindak Kekerasan
Macam-macam tindakan kekerasan di sekolah :
Kekerasan pada siswa adalah suatu tindakan keras yang dilakukan guru terhadap siswa di sekolah dengan tujuan mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007). Ada beberapa macam kekerasan yang umumnya dialami siswa.
1. Kekerasan fisik: kekerasan fisik merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
2. Kekerasan psikis: kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya.
3. Kekerasan defensive: kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan perlindungan, bukan tindakan penyerangan (Rini, 2008 dalam buku psikologi pembelajaran).
4. Kekerasan agresif: kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti merampas, dll (Rini, 2008 dalam buku psikologi pembelajaran).
Bahwa kekerasan dalam hukuman fisik adalah aplikasi rasa sakit secara fisik yang disengaja sebagai metoda pengubah perilaku, dengan memukul, menampar, meninju, menendang, mencubit, mengguncang, menyorong, memakai aneka benda atau aliran listrik, mengurung di ruang sempit, gerakan fisik yang berlebihan, drill, melarang membuang air kencing, dan lain-lain. Hukuman fisik di sekolah bukan kebutuhan okasional dari pendidik guna mengendalikan murid yang berbahaya atau melindungi komuniti sekolah dari ancaman bahaya (Greydanus, 2003 dalam buku pencegahan kekerasan terhadap anak dilingkungan pendidikan).
2.2.3 Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penganiayaan
2.2.3.1 Pengertian Penganiayaan
Penganiayaan merupakan perbuatan kejahatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang bisa mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Unsur mutlak adanya tindak pidana penganiayaan adalah rasa sakit atau luka yang dikehendaki oleh pelaku atau dengan kata lain adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum yang ada. Adam Chazawi (2001) mengklarifikasikan penganiayaan menjadi 5 macam, yakni; 1. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP); 2. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP); 3. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP); 4. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP); 5. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP);
a. Penganiayaan Biasa
Pemberian kualifikasi
sebagai penganiayaan biasa (gewone
mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok
atau bentuk standard terhadap ketentuan Pasal 351 KUHP sungguh tepat,
setidak-tidaknya untuk membedakan dengan bentuk penganiayaan lainnya.
Pasal 351 KUHP merumuskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua tahun) 8 (delapan bulan) atau pidana denda paling banyak Rp.4.500 (empat ribu lima ratus)
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah dipidana penjara paling lama 5 (lima tahun)
(3) Jika mengakibatkan kematian, dipidana penjara paling lama 7 (tujuh tahun)
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
b. Penganiayaan Ringan
Penganiayaan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte misbandeling) oleh Undang-Undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam Pasal 352 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut:
(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500 (empat ribu lima ratus).
(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerjanya padanya atau bawahannya.
(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
c. Penganiayaan Berencana
Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut;
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana 7 (tujuh) tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun.
Ada tiga macam penganiayaan berencana , yaitu:
a. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian;
b. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat;
c. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian.
Direncanakan terlebih dahulu adalah bentuk khusus dan suatu kesengajaan dan merupakan hal-hal yang memperberat pemidanaan.
d. Penganiayaan Berat
Penganiayaan yang oleh Undang-Undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya sebagai berikut;
(1) Barang siapa dengan sengaja melukai badan orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Dengan mengingat pengertian penganiayaan seperti yang telah diterangkan, maka penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kesalahannya, kesengajaan (oppzettelijk)
b. Perbuatan, melukai berat
c. Objeknya, tubuh orang lain
d. Akibat, luka berat
Penganiayaan berat terjadi apabila si pelaku melakukan tindak pidana penganiyaan dengan melukai berat korbannya. Dengan kata lain, luka berat itu disengaja oleh si pelaku yang meliputi tiga corak sengaja. Seseorang yang melakukan perbuatan penganiayaan secara sadar kemungkinan akan terjadi yang mengakibatkan luka berat korban, sekalipun tidak diniatkannya, tetapi tidak menghentikan perbuatannya maka orang itu dapat dipidana karena penganiayaan berat. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas serta cukup lengkap, maka perlu diketahui batasan pengertian luka berat. Pengertian luka berat diberi tafsiran autentik oleh Pasal 90 KUHP sebagai berikut: Luka berat atau luka parah antara lain:
(1) Penyakit atau luka yang tidak diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jika luka atau sakit bagaimana sebenarnya, jika dapat sembuh lagi dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut, itu bukan luka berat.
(2) Terus menerus tidak dapat lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara bolehlah tidak cakap melakukan pekerjaan, itu tidak termasuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongan sehingga tidak dapat menyanyi selamalamanya itu termasuk luka berat.
(3) Tidak lagi memakai salah satu panca indera penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit. Orang yang menjadi buta atau tuli satu telinga, belum masuk dalam pengertian ini karena melihat dan mendengar.
(4) Cacat sehingga jelek rupanya, misalnya hidung yang romping, daun telinga yang teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya.
(5) Lumpuh (verlamming) artinya tidak menggerakkan anggota badan lainnya.
(6) Berubah pikiran lebih dari empat minggu, pikiran terganggu kacau, tidak memikir lagi dengan moral, semua itu lamanya harus lebih dari empat minggu, jika kurang tidak termasuk dalam pengertian luka berat.
Melihat tafsiran autentik dari isi ketentuan Pasal 354 KUHP, maka dapat disimpulkan bahwa syarat utama adanya penganiayaan berat adalah kesengajaan (dalam 3 corak) untuk berbuat dari jika mengakibatkan matinya orang lain, maka perbuatan pelakunya diancam hukuman sesuai dengan Pasal 354 KUHP Ketentuan ini dalam praktek mungkin sekali tidak memuaskan, seperti yang dikemukakan oleh Noyon-Langemeyer sebagai berikut: “Disitu dipersoalkan seseorang menembak kepala orang lain tetapi tidak kena sasaran. Kalau si pelaku hanya mengaku dan melukai ringan dan tidak ada rencana dahulu secara tenang, maka mungkin sekali hanya dianggap terbukti percobaan untuk melakukan penganiayaan dari Pasal 351 KUHP dan demikian seorang itu tidak dapat dikenakan hukuman dan ini tidak memuaskan rupanya peneliti ini lebih suka pada percobaan melakukan penganiayaan biasa harus dinyatakan berupa menghalang-halangi orang melakukan kejahatan. Jaksa masih ada kebijaksanaan penuh untuk tidak menuntut berdasarkan prinsip opportunitas”.
e. Penganiayaan Berat Berencana
Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat dan penganiayaan berencana dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi secara serentak dan bersama-sama. Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
2.3 Tinjauan Tentang Guru, Peserta Didik Dan Lingkungan Sekolah
2.3.1 Pengertian Guru
Guru menurut Peraturan Pemerintah adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (Agung P, 2012: 24) secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang, apakah dalam keluarga, dalam masyarakat mauun di sekolah. Guru dilihat sebagai sosok yang kharismatik, karena jasanya yang banyak mendidik umat manusia dari dulu hingga sekarang. E. Mulyasa (Agung P, 2012: 24) juga menegaskan jika semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan seorang guru. Dengan demikian, pendidik merupakan sosok yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan proses belajar mengajar dan merupakan bagian yang terpisahkan dari komponen pembelajaran. Dalam melakukan kegiatan proses belajar mengajar, pendidik bertugas untuk mengarahkan peserta didik untuk aktif melakukan belajar di dalam kelas.
Sedangkan menurut Purwanto (1997:138), Guru sebagai pendidik profesional selayaknya mempunyai citra baik di masyarakat. Guru sebagai pedoman yang baik yang ditiru dan dicontoh oleh anak didiknya menurut Surya (2002:5) sikap profesional Guru yaitu setiap guru yang berhubungan dengan pola tingkah laku guru dalam memahaminya, menghayati dan mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya.
2.3.2 Peserta Didik
Peserta didik merupakan salah satu komponen inti dari pembelajaran, karena inti dari proses pembelajaran adalah kegiatan belajar peserta didik dalam mencapai suatu tujuan. Menurut Kimble dan Garmezy (Agung P, 2012: 23) “sifat dan perubahan perilaku dalam belajar relatif permanen”. Dengan demikian, hasil belajar dapat diidentifikasi dari adanya kemampuan melakukan sesuatu secara permanen dan dapat diulang-ulang dengan hasil yang relatif sama. Seorang peserta didik perlu memiliki sikap disiplin belajar dengan melakukan latihan dan memperkuat dirinya sendiri untuk selalu terbiasa patuh dan mempertinggi daya kendali diri, sehingga kemampuan yang diperoleh dapat diulang-ulang dengan hasil yang relatif sama.
Sedangkan menurut Abdul Mujib (2006:103) mengatakan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang lebih tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik bukan anak didik. Peserta didik cakupannya sangat luas, tidak hanya melibatkan anak-anak tetapi mencakup orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya mengkhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik mengisyaratkan tidak hanya dalam pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan sebagainya tetapi penyebutan peserta didik dapat mencakup pendidikan non formal seperti pendidikan di masyarakat, majlis taklim atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya.
Lain halnya dengan Ahmad Tafsir (2006:164-165) berpendapat bahwa istilah untuk peserta didik adalah murid bukan pelajar, anak didik atau peserta didik. Beliau berpendapat bahwa pemakaian murid dalam pendidikan mengandung kesungguhan belajar, memuliakan guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam perbuatan mengajar dan belajar terdapat keberkahan tersendiri. Pendidikan yang dilakukan oleh murid dianggap mengandung muatan profane dan transcendental.
2.3.3 Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah diartikan sebagai kesatuan ruang suatu benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (Munib, 2005:76). Lingkungan yang dimaksud disini merupakan lingkungan dimana peserta didik dan pendidik melakukan interaksi dalam rangka menggunakan segala sumber bahan belajar yang terdapat pada lingkungan tersebut. Suciati, dkk (Agung P, 2012: 25) menjelaskan, “lingkungan belajar merupakan situasi yang ada di sekitar siswa pada saat belajar. Dalam perihal ini situasi yang dimaksud dapat mempengaruhi proses belajar peserta didik. Jika lingkungan ditata dengan baik, lingkungan dapat menjadi sarana yang bernilai positif dalam membangun dan mempertahankan sifat positif.
Menurut Sukmadinata (2009: 164), “lingkungan sekolah memegang perananan penting bagi perkembangan belajar para siswanya”. Sedangkan menurut Sabdulloh (2010: 196) bahwa :
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat seperti harus berjenjang dan berkesinambungan, sehingga disebut pendidikan formal dan sekolah adalah lembaga khusus, suatu wahana, suatu tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, yang di dalamnya terdapat suatu proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sejalan dengan pendapat Dalyono (2009: 59) bahwa keadaan sekolah tempat turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas atau perlengkapan di sekolah, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan sebagainya, semua ini turut mempengaruhi keberhasilan anak.
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat seperti harus berjenjang dan berkesinambungan sehingga disebut pendidikan formal. Selain itu sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Lingkungan sekolah juga menyangkut lingkungan akademis, yaitu sarana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, berbagai kegiatan kurikuler, dan lain sebagainya (Syaodih, 2004: 164).
Lingkungan sekolah terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik. Sedangkan menurut Rukmana dan Suryana (2006: 69) menyebutkan bahwa lingkungan fisik tempat belajar memberikan pengaruh terhadap hasil belajar anak.
2.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah
Bentuk-bentuk kekerasan anak di sekolah meliputi :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan ini yang paling mudah dikenali, karena dapat dilihat dengan kasat mata dan dirasakan oleh tubuh. Kekerasan ini meliputi memukul, menendang, menjewer, mencubit, menghukum dengan berlari memutari lapangan atau berjemur di lapangan, menghukum dengan push-up puluhan kali.
2. Kekerasan Psikologi
Kekerasan jenis ini tidak mudah dikenali, karena akibat yang dirasakan korban tidak nampak jelas bagi orang lain. Kekerasan ini meliputi penggunaan kata-kata kasar, mengejek, membentak, mengancam.
3. Kekerasan Sosial
Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak. Penelantaran dapat berupa anak dikucilkan atau diasingkan dari lingkungannya.
4. Kekerasan Seksual
Segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, contohnya seperti pemerkosaan. Kekerasan yang berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain, contohnya seperti pelecehan seksual, baik melalui sentuhan, perabaan, kata-kata maupun gambar-gambar.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam metode penelitian kualitatif terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah dari sifat dan ruang lingkup disiplin hukum, dimana disiplin diartikan sebagai suatu sistem ajaran tentang kenyataan, yang biasanya mencangkup disiplin analitis dan disiplin prekspetif dan disiplin hukum lazimnya termaksud kedalam prespektif jika hukum dipandang hanya mencangkup segi normatifnya saja (Soekanto 2011: 231). Sedangkan jenis penelitian yuridis empiris Sebagaimana Achmah (2010:170) menjelaskan bahwa jenis penelitian yuridis empiris yakni rancangan penelitian yang dapat dijelaskan atau diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diselidiki, sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang. Sementara pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi hukum. Menurut Salim dan Nurbani (2013: 23-29), pendekatan sosiologi hukum adalah suatu pendekatan yang mempelajari keteraturan dan berfungsinya hukum. Tujuan utama dari pendekatan sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien.
Berdasarkan pendapat diatas, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis empiris dengan pendekatan sosiologi hukum untuk mengkaji tentang tindakan kekerasan guru terhadap siswa dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMPN 2 Donggo, adapun lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan SDN Sangari
- Sebelah selatan berbatasan dengan Puskesmas Sangari
- Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya
- Sebelah barat berbatasan dengan Sungai
Adapun alasan dilaksanakan penelitian di SMPN 2 Donggo secara ilmiah karena kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah SMPN 2 Donggo berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), selain itu tempatnya dekat dengan tempat tinggal peneliti dan juga mudah dijangkau secara efektif dan efesien dari segi waktu dan biaya hal ini dikarenakan peneliti tinggal di daerah tersebut.
3.3 Tehnik Penentuan Subyek
Dalam penentuan sampel penelitian yuridis empiris bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan, teman, penegak hukum dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian yuridis empiris juga bukan disebut sampel statistik, tetapi sampel teoritis karena tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan fakta-fakta yang aktual.
Penelitian yuridis empiris umumnya mengambil sampel lebih kecil dan lebih mengarah ke penelitian proses dari pada produk dan biasanya membatasi pada satu kasus. Dalam penelitiani yuridis empiris teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Perkembangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi yang diteliti. Atau dengan kata lain pengambilan sampel diambil berdasarkan kebutuhan penelitian. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo adalah kepala sekolah, guru BK, guru Mapel, Siswa dan Kapolsek Donggo.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan bagain yang sangat penting dalam penelitian. Kegiatan ini membutuhan keseriusan dan penuh hati-hati guna mendapatkan data yang valid. Oleh karena itu dalam melaksanakan kegiatan ini diperlukan teknik yang tepat. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan adalah:
3.4.1 Metode Observasi
Metode observasi adalah “suatu teknik pengumpulan data dengan mengamati secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung” Djumhur, (2000:52). Dengan melakukan observasi atau pengamatan memungkinkan gejala-gejala penelitian dapat diamati dari dekat.
Dalam pencatatan observasi bukanlah sekedar pencatat tetapi juga mengadakan observasi yang reliabilitasnya dapat dipergunakan semaksimal mungkin.
Dalam garis besarnya Observasi dapat dilaksanakan dengan:
1. Observasi yang berpartisipasi yaitu pengamat turut mengambil bagian dari perilaku kehidupan atau situasi dari orang-orang yang diobservasinya.
2. Observasi non partisipatif yaitu pengamat tidak mengambil bagian secara langsung dari situasi kehidupan yang diobsservasi tetapi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa observasi adalah pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan alat indera, baik langsung maupun tidak langsung terhadap fakta-fakta atau gejala-gejala yang diteliti. Teknik obsevasi yang digunakan untuk membuktikan kebenaran dan informasi yang diperoleh dari wawancara.
Adapun teknik observasi yang digunakan peneliti adalah observasi partisipasi dengan maksud agar peneliti memperoleh data-data yang valid karena peneliti langsung melakukan pengamatan di lokasi penelitian yakni di SMPN 2 Donggo.
Jadi obsevasi yang dimaksud disini adalah pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian, dimana teknik observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo.
3.4.2 Metode Wawancara
Menurut (Sugiyono, 2009: 137) mengemukakan “Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit sekali.”
Sedangkan menurut (Sugiyono, 2009:138) mengemukakan beberapa tehnik wawancara yaitu wawancara terstruktur, dan wawancara tidak berstruktur.
1. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik penggumpulan data, bila peneliti atau penggumpulan data mengetahui pasti tentang informasi yang akan diperoleh.
2. Wawancara tak berstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistimatis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Maksud digunakan wawancara terstruktur dalam penelitian ini yaitu menggunakan pedoman wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang sama diajukan kepada semua responden, dalam kalimat dan urutan yang telah disusun oleh peneliti untuk mendapatkan informasi tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo.
3.4.3 Metode Dokumentasi
Tehnik dokumentasi adalah menelaan data-data yang tertulis atau berupa arsip-arsip yang ada dilokasi penelitian yang relevan dengan masalah yang diteliti. Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan mengenai data pribadi responden, arsip-arsip, surat-surat atau hal lainnya (Fathoni, 2006:112). Maka adapun dokumen-dokumen yang dijadikan bahan dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk, sarana dan prasarana dan sebagainya.
3.5 Jenis dan Sumber Data
3.5.1 Jenis Data
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka harus didukung data yang tepat untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata dan tindakan secara diskriptif dan mendalam mengenai suatu peristiwa. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2010) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Secara garis besar jenis data menurut (Suharsimi Arikunto 2002:132) terdiri dari dua macam yaitu:
1. Data kualitatif, yaitu jenis data dalam bentuk uraian-uraian dengan melalui penelitian sosial.
2. Data kuantitatif yaitu jenis data dalam bentuk angka-angka yang perlu dihitung. Jadi, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalalah jenis data kualitatif.
3.5.2 Sumber Data
Didalam, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukan hanya bahan hukum saja akan tetapi ditambah dengan pendapat para ahli. Penulisan proposal skripsi ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data yang diambil dari bahan pustaka yang terdiri dari 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
1) KUHP Tentang Tindakan Kekerasan
2. Bahan Hukum Sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukannya obsevasi, wawancara dan dokumentasi.
3. Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum Pidana.
3.6 Analisis Data
Analisis data, menurut Soerjono (2010:68) bahwa pada dasarnya analisis data dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, karena pada hakekatnya data sekunder biasanya dilakukan secara kualitatif, sedangkan menurut Patto dan Meleong, (2010 :12) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasi kedalam suatu pola, kategori dan suatu urusan dasar. Pada penelitian yuridis empiris akan menelaah data sekunder yang berdasarkan dari uraian deskriptif yang mengunakan pendekatan sosilogi hukum. Dimana data-data tersebut berupa hasil dari dokumentasi, observasi dan wawancara akan tetapi sebagai data penunjang dalam penelitian ini diadakan reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan data.
3.6.1. Reduksi Data
Merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan direvisikan. Yang direduksi dalam hal ini adalah data yang diperoleh melalui observasi, dokumentsasi dan wawancara tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo.
3.6.2. Penyajian Data
Alur kedua dari analisis adalah penyajian data, penyajian data adalah sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Yang disajikan disini adalah data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dokumentasi tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo.
3.6.3. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan, dilakukan setelah reduksi dan penyajian data. Penarik kesimpulan adalah membuat kesimpulan dari hasil kesimpulan tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik di SMPN 2 Donggo.
BAB IV
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Observasi
Hasil dari observasi pengamatan awal peneliti di SMPN 2 Donggo tentang tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik disekolah, observasi ini dilakukan peneliti pada tanggal 10 Juli 2017 untuk memuat uraian tentang adanya tindakan kekerasan yang dilakukan guru disekolah. Dari hasil observasi awal peneliti terdapat adanya tindakan kekerasan terhadap anak didik di SMPN 2 Donggo dengan jumlah 14 kasus kekerasan dan jumlah ini lebih meningkat dari tahun kemarin. Kekerasan anak dilingkungan sekolah dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 4.1 Data Kekerasan Anak Dilingkungan Sekolah Kabupaten Bima
TAHUN |
KEKERASAN |
JENIS KELAMIN |
TOTAL |
|
L |
P |
|||
2014 |
7 |
4 |
3 |
7 |
2015 |
9 |
3 |
6 |
9 |
2016 |
11 |
7 |
4 |
11 |
2017 |
14 |
9 |
5 |
14 |
Jumlah |
41 |
23 |
18 |
41 |
Sumber : Data Statistik Kabupaten Bima 2017
Dari tabel diatas bahwa tindakan kekerasan guru terhadap anak didik dengan jumlah 41 kasus kekerasan anak dilingkungan sekolah terhitung dari tahun 2014/2017 yang di keluarkan oleh Badan Statistik Kabupaten Bima, peningkatan kekerasan guru terhadap anak didiknya makin meningkan dilihat dari tahun ke tahun terhitung dengan bulan Desember 2017 dengan jumlah 14 kasus kekerasan yang tedapat di SMPN 2 Donggo Kabupaten Bima.
Dalam hasil observasi awal maka terdapat tindakan kekerasan guru terhadap peserta didik sehinga Peneliti melakukan penelitian di SMPN 2 Donggo yang berlokasi di jalan lintas Sangari Donggo tepatnya di Kelurahan Mbawa Kecamatan Donggo Kabupaten Bima dengan SK izin Operasional 562 Tahun 2007, SMPN 2 Donggo memiliki 23 ruangan Kelas, ruangan Guru, ruangan WC, ruangan perpustakaan dan ruangan kepala Sekolah dengan jumlah siswa 251 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2 Jumlah Siswa Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan |
L |
P |
Total |
Siswa Kelas IX |
43 |
48 |
91 |
Siswa Kelas VIII |
45 |
44 |
89 |
Siswa Kelas VII |
30 |
41 |
71 |
Jumlah |
118 |
133 |
251 |
Sumber : Profil SMPN 2 Donggo, Thn 2017
Berdasarkan tabel diatas bahwa siswa SMPN 2 Donggo Kabupaten Bima dengan jumlah siswa yang terdaftar sebanyak 251 siswa/siswi yang terdiri dari kelas VII laki-laki 30 siswa dan perempuan 41 siswa, 45 Laki-laki dan Perempuan 44 siswa yang terdapat pada kelas VIII dan siswa kelas IX 43 Laki-laki dan Perempuan 48 siswa.
Tabel 4.3 Data Guru Dan Tenaga Kependidikan
No |
Status Kepegawean |
Jumlah |
Ket |
1. |
Honorer |
34 |
Ya |
2. |
PNS |
14 |
Ya |
|
Total |
49 |
|
No |
Jenis Pendidik Tenaga Pendidik |
Jumlah |
Ket |
1. |
Guru Mapel |
37 |
Ya |
2. |
Guru BK |
2 |
Ya |
3. |
Tenaga Administrasi Sekolah |
9 |
Ya |
4. |
Tenaga Perpustakan |
1 |
Ya |
|
Total |
49 |
|
Sumber: Profil SMPN 2 Donggo, Thn 2017
Berdasarkan tabel diatas bahwa SMPN 2 Donggo memiliki pendidik atau tenaga pendidik sebanyak 49 pendidik. 37 guru Mapel, 2 guru BK, Tenaga Administrasi Sekolah 9 dan Tenaga Perpustakaan 1 orang dengan status kepegawaian 34 guru yang masih honor, PNS 14 orang.
4.1.2 Hasil Wawancara
a. Deskripsi Data Bentuk Kekerasan Guru Terhadap Peserta Didik Di SMPN 2 Donggo
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu maupun masa sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Disiplin merupakan hal yang seringkali menjadi tolak ukur kualitas pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal seperti sekolah, sehingga para guru harus bekerja keras membuat peraturan serta menertibkan murid muridnya di sekolah.
Berbagai macam cara mereka tempuh untuk menegakkan kedisiplinan di sekolah, seperti memberikan sanksi yang keras dan tegas bagi murid murid yang melanggar peraturan seperti membolos, merokok di lingkungan sekolah, terlambat, dan lain-lain. Walau demikian masih ada saja murid murid yang melanggar peraturan, sehingga tak jarang guru melakukan tindak kekerasan untuk mendisiplinkan murid muridnya.
Secara umum, kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Kekerasan pada murid adalah suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap murid di sekolah dengan dalih mendisiplinkan murid yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik dan psikis.
Ada beberapa jenis kasus kekerasan yang dilakukan guru di SMPN 2 Donggo yang dialami oleh peserta didik dilingkungan sekolah seperti tindakan kekerasan secara fisik dan psikis yaitu :
1. Kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menampar. Suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka atau cedera pada siswa merupakan bentuk kekerasan fisik,
2. Kekerasan psikis seperti menghina, melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri murid, menurunkan rasa percaya diri, membuat murid merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya seperti yang dialami oleh Syahrul murid kelas VIII.
Hasil wawancara peneliti dengan siwa SMPN 2 Donggo kelas VIII.
“Saya sering kena perlakuan kasar oleh bapak guru karna saya cuman telat masuk kelas dan saya dipukul menggunakan kayu sampai tangan saya bengkak dan habis itu saya disuruh lari keliling lapangan hampir saya mau pingsan karna dihukum sama bapak dan ibu guru disekolah” (wawancara Tanggal 21 Juli 2017).
“Sedangkan pernyataan yudan (Siswa Kelas VIII) saya pernah dipukul menggunakan bambu sehingga kaki memerah oleh pak guru karena telat datang sekolah, saya mengadu sama orang tua kemudian orang tua saya melaporkan ke kepala sekolah” (Wawancara Tanggal 21 Juli 2017).
“Kemudian wawancara dengan Wawan (Siswa Kelas VIII) saya sering dikasari dan kemudian dilempari dengan penghapus papan karena ribut didalam kelas, padahal yang ribut itu teman yang ada disamping tempat duduk saya. Akibat dilempar saya mengalami luka di bagian kepala” (Wawancara Tanggal 21 Juli 2017).
“Selanjutnya dengan Riski M. Saleh (Siswa Kelas IX) saya memang pernah dipukul oleh guru karena saya tidak mengerjakan PR yang diberikan oleh guru, karena saya lupa mengerjakanya. Saya tidak hanya dipukul tapi juga saya dijemur di luar lapangan sekolah” (Wawancara Tanggal 21 Juli 2017).
“Kemudian dengan Sofian (Siswa Kelas IX) ada guru yang baik dan ada juga guru yang kasar, saya juga perna dipukul karena saya tidak masuk kelas diakibatkan saya sakit tapi surat ijin yang saya tulis lupa disampaikan oleh teman saya. Makanya saya dihukum dengan cara memukul menggunakan kayu” (Wawancara Tanggal 21 Juli 2017).
Dari beberapa hasil wawancara diatas peneliti dengan Siswa di SMPN 2 Donggo dapat disimpulkan bahwa perlakuan guru tidak mencerminkan sebagai seorang pendidik yang berprofesional dalam mencerdaskan anak bangsa, perlakuan guru terhadap anak didik disekolah mengakibatkan rasa sakit secara fisik dan psikis. Dalam KUHP sikap dan tindakan kekerasan guru terhadap siswa melanggar Undang-undang tindak kekerasan pasal 351-355 dan Undang-undang perlindungan anak.
Selanjutnya Wawancara dengan bapak Fariadin S.Pd (Guru Mapel di SMPN 2 Donggo)
“Kalau tindakan kekerasan yang dilakukan tidak terlalu berlebihan sih cuman memukulnya agar membuatnya untuk nurut dan patuh terhadap aturan yang ada disekolah aja karna siswa-siswi terlalu nakal dan juga sering membantah apa yang diperintahkan makanya kami sebagai guru harus memukulnya supaya membuatnya disiplin di lingkungan sekolah” (Wawancara 24 Juli 2017).
Dari hasil wawancara peneliti dengan salah satu guru di SMPN 2 Donggo bahwa guru melakukan perlakuan kekerasan secara fisik dilakukan hanya untuk menciptakan kedisiplinan yang tinggi terhadap siswa dilingkungan sekolah tampa memikirkan cara yang baik untuk mengajarnya. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa disekolah yang menimbulkan rasa sakit secara Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) akan dikena Pasal 353 dan 356 penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama selama tiga bulan dengan denda empat ribu lima ratus rupiah.
“Menurut pak Usman Muliani (Guru BK di SMPN 2 Donggo); Guru harus bisa memahami psikologi anak didiknya dan juga mampu mengatasi masalah yang disebabkan oleh anak didiknya di dalam kelas maupun diluar kelas, tapi setiap persolan di lingkungan sekolah saya selaku guru BK juga memberikan peringatan maupun sangsi sesuai kesepakatan di sekolah untuk guru maupun siswa yang bermasalah” (Wawancara 24 Juli 2017)
Lebih lanjut wawancara peneliti dengan Bapak Abdur Rais, S.Pd.,MPd (Kepala Sekolah SMPN 2 Donggo)
“Cara dan metode guru kan berbeda-beda dalam mendidik, kalau sampe memukul siswa yang berlebihan kan pasti melanggar aturan, disekolah ini juga kan punya aturannya kalaupun seorang guru melakukan tindakan kekerasan pasti akan mendapatkan sangsi dan tindakan kekerasan terhadap anak juga kan melangar hukum. Saya juga selaku kepala sekolah selalu menghimbau kepada guru-guru yang ada di SMPN 2 Donggo agar tidak terjadi tindakan kekeran terhadap siswa dan siswi di sekolah” (Wawancara 27 Juli 2017).
Beberapa pendapat dari hasil wawancara tersebut bahwa perlakuan tindakan kekerasan terhadap anak didik suatu tindakan melangar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana dalam pasal 351-355 baik kekerasan berat maupun kekerasan ringan. Perlakuan tindakan kekerasan guru terhadap anak sangat menghilangkan nilai dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan dari undang-undang tersebut yaitu untuk memanimalisir tindakan kekerasan guru terhadap anak didik.
b. Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Tindakan Kekerasaan Guru Di SMPN 2 Donggo
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal istilah strafbaarfeit. Kepustakaan tentang hukum pidana sering menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan peristiwa pidana, atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah delik yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tindak pidana.
Perbuatan kekerasaan dan pengeniayaan suatu bentuk tindakan yang melanggar Hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bentuk perilaku kekerasaan yang dilakukan guru terhadap anak didik di lingkungan sekolah akan diatur (mengunakan sarana hukum pidana) pada ketentuan pasal 351-355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hasil wawancara peneliti dengan Pak Muhammad Ananda selaku Kapolsek di Kecamatan Donggo Kabupeten Bima.
“menurut pak Muhammad Ananda (Kapolsek Kecamatan Donggo). Kekerasan baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan oleh guru terhadap murid di sekolah tentu saja bertententangan dengan peraturan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, tapi kami dari kepolisian menangani sampai tingkat penyidik saja karena penyelesaian juga bisa dilakukan jalan damai” (Wawancara 12 Juli 2017).
“wawancara Bripka Agus Waliono (Anggota Polsek Kecamatan Donggo) penanganan kasus penganiayaan tindakan kekerasan guru terhadap siswa, baru-baru ini kita menangani dua kasus yang dilaporkan dari orang tua salah satu siswa di SMPN 2 Donggo masalah tindakan kekerasan yang dilakukan guru yang inisialnya J dan P terhadap siswa di SMPN 2 Donggo sehingga mengalami luka ringan dibagian paha dan tangan” (Wawancara 12 Juli 2017).
Dari hasil wawancara diatas dapat peneliti simpulkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru selaku tenaga pendidik terhadap siswa SMPN 2 Donggo telah melanggar pasal 351-355 KUHP, pengeniayaan biasa dengan masa kurungan 2 Tahun 8 bulan penjara dengan denda 4.500. Tetapi kepolisian biasanya melakukan suatu proses mediasi antara korban dan pelaku dimana juga melibatkan keluarga yang bersangkutan. Pihak Kepolisian berperan sebagai mediator yang menyarankan agar kedua belah pihak dapat menyelesaikan secara kekeluargaan, karena dalam Kepolisian terdapat prosedur yang dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau biasa disingkat ADR.
4.2 Pembahasan
Dari data dan temuan yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi yang dilakukan di SMPN 2 Donggo ditemukan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa sangat menimbulkan dilema tersendiri kepada siswa baik secara fisik maupun psikis dan memberikan kekecewaan bagi wali murid sehinga mencoreng nama baik dunia pendidikan, berbagai tindakan kekerasan guru seperti memukul dan mencubit anak didik disekolah adalah perbuatan melanggar hukum.
Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal. Tempat dimana siswa-siswi datang untuk mengenyam pendidikan dan belajar guna meraih masa depan yang lebih baik. Banyak hal yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk merekrut siswa-siswi sebanyak-banyaknya dan menjadi yang terbaik, antara lain ada yang berorientasi pada image dan penampilan sekolah, ada yang berorien tasi pada hakekat pendidikan itu sendiri, serta ada pula yang berorientasi pada penampilan atau image sekolah tanpa mengabaikan kualitas pendidikan itu sendiri. Dengan misi meningkatkan kualitas pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mereka bersaing untuk mencapai prestasi sebagai lembaga pendidikan formal yang terbaik di jenjangnya.
Disiplin merupakan hal yang seringkali menjadi tolok ukur image serta kualitas pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal seperti sekolah, sehingga para pendidik (dalam hal ini guru dan kepala sekolah) harus bekerja keras membuat peraturan serta menertibkan siswa-siswinya di sekolah. Berbagai macam cara mereka tempuh untuk menegakkan kedisiplinan di sekolah, seperti memberikan sanksi yang keras dan tegas bagi siswa-siswi yang melanggar peraturan seperti membolos, merokok di lingkungan sekolah, terlambat, dan lain-lain. Walau demikian masih ada saja siswa-siswi yang melanggar peraturan, sehingga tak jarang guru melakukan tindak kekerasan secara fisik untuk mendisiplinkan siswa-siswinya.
Tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid menambah daftar kriminal didunia pendidikan. Berbalik kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap dunia pendidikan merupakan dunia yang syarat akan nilai-nilai kebaikan (etika) dan nilai-nilai keindahan (estetika) bahkan secara ekstrem disebut dunia tampa cela, karena dunia pendidikan merupakan dunia untuk mewujudkan manusia lebih tangguh, bermartabat dan bermoral akan tetapi realita yang terjadi di SMPN 2 Donggo guru melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta didik lingkungan sekolah secara fisik dan psikis. Tindakan secara fisik seperti pemukulan sedangkan secara psikis hinaan, makian, dan ejekan.
Tindakan kekerasan anak secara fisik maupun psikis merupakan tindakan melanggar KUHP pasal 351-355 tentang tindakan kekerasan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana terhadap tubuh manusia yang biasa juga disebut sebagai penganiayaan ringan, sedang, biasa dan penganiayaan berat. Pasal 351 (ayat 1) penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dihukum dengan hukuman penjara 2 Tahun 8 Bulan sedangkan penganiayaan luka berat dihukum selama-lamanya 5 Tahun (ayat 2) dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 Tahun (ayat 3). Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap anak, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komperhensif.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Tindakan Kekerasan Guru Terhadap Peserta Didik di SMPN 2 Donggo” maka dapat peneliti simpulkan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid di SMPN 2 Donggo secara yuridis merupakan salah satu bentuk perbuatan pidana. Kasus kekerasan seperti memukul dan mencubit sehingga menyebabkan luka fisik dibagian paha, lengan tangan, dan muka pada siswa yang disebabkan oleh guru di SMPN 2 Donggo yang pernah terjadi, secara yuridis bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia.
2. Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap tindakan kekerasan Guru di sekolah yaitu untuk memberikan titik jerah terhadap guru yang melakukan tindakan kekerasan terhadap murid dilingkungan sekolah.
5.2 Saran
1. Penelitian ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penanggulangan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya dan juga pihak pemerintah dapat mempertegas dan meningkatkan sistem pendidikan. Agar tercipta proses belajar mengajar yang kondusif tanpa ada unsur penganiayaan di dalamnya.
2. Diharapkan kepada murid dapat menghormati gurunya dengan beretika baik dan sopan agar tidak memancing amarah guru sehingga tidak terjadi tindak pidana penganiyaan yang dilakukan oleh guru terhadap murid lingkungan sekolah.
3. Kepada pihak sekolah, agar memperhatikan metode-metode yang digunakan para guru dalam mengajar dan menegakkan kedisiplinan, kemudian menindak lanjuti guru yang menggunakan kekerasan sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tidak ada lagi guru yang menggunakan kekerasan dengan dalil menegakkan kedisiplinan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Barda Nawawi, 2007. Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Penegakan
Penanggulangan Kejahatan,
Kencana, Jakarta.
Djamal, M. 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dirjosisworo Soedjono, 1985. Kriminologi (Pencegahan
Tentang Sebab-sebab
Kejahatan), Politiea,
Bogor.
Johan Galtung, 1992. Kekuasaan dan Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta.
Jurnal Kekerasan-pada-anak-didik-di-sekolah diakses tanggal 22 Februari 2017
Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Anak di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia.
Anwarriansyah, 2009. Prinsip Pendidikan Tanpa Kekerasan,www.wikimu.com diakses 23 Februari 2017
Hardianti. 2008. kekerasan dalam pendidikan
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/4781/menyikapi-fenomena-kekerasan-dalam-pendidikan di akses 25 Februari 2017
https://parismanalush.blogspot.co.id/2014/08/unsur-pasal-170-kuhp.html
http://nurulfikri.sch.id/index.php/ragam-media/kolom/kolom-siswa/143
http://journal.unesa.ac.id/article/6291/39/article.pdf
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Udang Dasar Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
No comments:
Post a Comment