Bagi
para pendidik yang mengajarkan karakter, ada baiknya kita memahami bagaimana
karakter tersebut dibentuk oleh pengalaman pribadi, lingkungan, dan hubungan
kita.
Momen
“gadis jahat” saya yang disesalkan terjadi ketika saya duduk di bangku kelas
tujuh.
Saya
tinggal di kota baru dan berjuang untuk menyesuaikan diri. Menjelang Halloween,
saya merasa penuh harapan ketika seorang gadis pemalu namun baik hati bertanya
apakah saya mau melakukan trick-or-treat dengannya. Saya langsung menerima
undangan tersebut, sampai seorang gadis lain yang lebih “populer” mengundang
saya untuk berjalan-jalan dengan kelompoknya. Saya membuat keputusan yang egois
dan tidak baik dengan memberi tahu gadis pertama bahwa orang tua saya
mengatakan saya harus tinggal di rumah dan membagikan permen.
Saya
ingat perasaan malu yang menggerogoti yang mulai terbentuk di dalam hati saya
ketika saya menyampaikan alasan yang tidak jujur ini. Suara kecil hati nurani
itu dengan cepat tertahan oleh dialog internal tentang pembenaran dan rasa aman
yang salah ketika saya mulai mempersiapkan kostum dan rencana saya untuk malam
itu.
Saat
kami melakukan trick-or-treat, gadis-gadis “keren” itu kurang baik padaku, tapi
aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat.
Kemudian, aku mengalami saat-saat yang sangat memalukan dan memalukan ketika
aku berhadapan langsung dengan gadis manis yang telah aku bohongi. Aku akan
selalu mengingat ekspresi terluka dan jijik di wajahnya ketika dia melihatku
bersama sekelompok gadis lain.
Saya
tidak pernah mengambil tanggung jawab langsung atas perilaku tidak jujur
saya. Pada tahun-tahun berikutnya, kami tidak berinteraksi di sekolah. Kami
hanya mengabaikan satu sama lain dan setiap kali saya melihatnya, saya
mendengar suara kecil yang mengingatkan saya betapa buruknya saya. Saya juga
tidak pernah diterima dalam kelompok gadis yang sangat ingin saya terima.
Bahkan, saya menjadi sasaran perilaku agresif mereka selama beberapa tahun ke
depan.
Kemudian,
di usia akhir 30-an, saya mulai tertarik pada pendidikan karakter ketika saya
berada di persimpangan jalan pribadi dan profesional. Dengan bimbingan seorang
mentor, saya mulai mempertimbangkan arah perkembangan karakter saya dan
bagaimana hubungan dengan keluarga, teman, dan pendidik, serta pengalaman,
seperti bencana Halloween, telah memengaruhi nilai, keyakinan, dan keputusan
saya. Eksplorasi ini mengungkap tujuan baru yang akhirnya membawa saya ke Mary
Lou Fulton Teachers College di Arizona State University (ASU).
Kami
mulai mengajukan pertanyaan besar seputar dampak apa yang mungkin kami
timbulkan terhadap pendidik, pelajar, keluarga, dan masyarakat jika kami
mengintegrasikan fokus pada pengembangan karakter dan pengambilan keputusan
dalam sistem persiapan guru dan pemimpin. Bisakah menumbuhkan kapasitas
disposisi ini pada diri para pendidik berkontribusi pada perkembangan individu,sistem, dan masyarakat?