EFEKTIVITAS PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) TERHADAP PEMERINTAH DESA BATUJAI, KECAMATAN PRAYA BARAT, KABUPATEN LOMBOK TENGAH
ABSTRAK
Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan desa sangatlah penting sebagai bentuk dari partisipasi penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tinggi Desa. Oleh sebab itu, penting untuk dirumuskan beberapa permasalahan yakni : Bagaimana peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Praya Barat, Lombok Barat seta efektivitas peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintahan Desa Batujai tersebut. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang responsibilitas dan akuntabilitas. Namun fakta di lapangan berbicara lain, BPD Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, tidak dapat menjalankan perannya secara optimal disebabkan sumber daya anggota BPD sangat rendah, khususnya dalam bidang pendidikan.Di samping itu juga, peran BPD tidak efektif disebabkan oleh anggaran operasional BPD sangat minim, sehingga terkadang mengemis proyek kepada Pemerintah Desa/Kepala Desa demi untuk menambah pundi-pundi penghasilan. Hal ini mengundang terjadinya kerjasama yang tidak sehat/kongkalikong antara anggota BPD dan Pemerintah Desa/Kepala Desa Batujai dalam menyalahgunakan wewenangnya.
Kata Kunci : Peran, Wewenang, Badan Permusyawaratan Desa
BAB I
PENDAHULUAN
Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga sebagai subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat (Ika RamayantiRani 2008:2)
Partisipasi masyarakat tersebut di samping dilaksanakan oleh lembagalembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara desa.Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan.Pada masa orde baru pelibatan masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dilaksanakan melalui pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa.Pada sisi lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal.Akibatnya masyarakat kurang bisa belajarberdemokrasi.Hal ini dibuktikan dengan kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator atau raja absolut, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan aspirasinya. Sebagai bentuk perwujudan sebuah Negara yang berdaulat sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat 2: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ada negara yang menganggap bahwa kedaulatannya berada di tangan rakyat, artinya suara rakyat banyak benar-benar didengar, keluhan, dan penderitaannya.Inilah contoh negara demokrasi, oleh rakyat dan untuk rakyat.Tetapi hal ini tampaknya hanya sekedar untuk menutupi perilaku pemerintah yang berkuasa (Inu Kencana Syafiie 2003:89).
Agar kedaulatan tetap terjamin, maka setiap organ pemerintahan termasuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) wajib menjalankan tugasnya dengan penuh rasa tanggungjawab karena jabatan sebagai pemerintah merupakan amanah dari rakyat.Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat dalam perjalanannya terkait dengan persoalan amanah belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat.Disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah Undang-Undang tidak berarti secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat).Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan Undang-Undang, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang otonomi daerah, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”.
Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya. Daerah yang otonom sangat mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan besarnya partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah, dalam era otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya sangat penting.
Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi, sendi-sendi tersebut meliputi: (1) sharing of power (pembagian kewenangan); (2) distribution of income (pembagian pendapatan); (3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah).
Ketiga sendi tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah, apabila sendi tersebut semakin kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin kuat pula, dan sebaliknya apabila sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan otonomi semakin lemah pula. Ketiga sendi-sendi ini sebagai pilarpilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam Undang-Undang penggantinya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan tentang ketiga sendi tersebut yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi.
Upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: Dana Pembangunan Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk bagi petani, Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi dan lain sebagainya. Namun demikian berbagai program tersebut gagal memberikan kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa).
Upaya perwujudan kesejahteraan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan dengan melibatkan LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan berbagai macam program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa pemerintahan reformasi. Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada dugaan adanya penyimpangan penggunaan dana untuk program-program pengentasan kemiskinan, bahkan laporan pertanggungjawaban kepala daerah isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan masyarakat (Ika Ramayanti Rani 2008:32)
Pelibatan masyarakat tidak hanya dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi juga dalam penyelenggaraan pemerintahan.Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut.Hal ini sejalan dengan tujuan utama pembentukan Lembaga Badan Permusyawaratan Desa yang disingkat BPD yang pada dasarnya adalah penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tinggi Desa.BPD juga merupakan pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan masyarakat desa.Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak jauh berbeda dengan DPR.Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara proporsional.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah ?
2. Bagaimanakah efektivitas peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah DesaBatujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan memahami peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana efektivitas peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat. Kabupaten Lombok Tengah.
b. Manfaat dari Penelitian ini adalah
Dari penelitian yang akan peneliti lakukan ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :
a) Manfaat teoritis atau keilmuan yaitu manfaat yang ditujukan oleh peneliti dalam menginformasikan perkembangan pertanggungjawaban pemerintah desa serta menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya dan menjadi arsip kepustakaan.
b) Manfaat Praktis
Agar pemerintah desa mengetahui dan memahami efektivitas peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
Agar tidak terjadi kerancuan, penelitian ini membatasi masalah yang diteliti, dengan memfokuskan pembahasan mengenai peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Peran
Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Menurut Abu Ahmadi (1982) peran adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto (2002:243), yaitu peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih lanjut kita lihat pendapat lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum secara penuh, (Soerjono Soekanto 1987: 220)
Sedangkan peran ideal, dapat diterjemahkan sebagai peran yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Misalnya dinas perhubungan sebagai suatu organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum dapat bertindak sebagai pengayom bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan ketertiban, keamanan yang mempunyai tujuan akhir kesejahteraan masyarakat, artinya peranan yang nyata, (Soerjono Soekamto). Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang apabila seseorang melakukan hak-hak dan kewajibankewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu fungsi. Hakekatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu. Kepribadian seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran itu harus dijalankan.
Peran yang dimainkan hakekatnya tidak ada perbedaan, baik yang dimainkan / diperankan pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah akan mempunyai peran yang sama Peran merupakan tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosial, syarat-syarat peran mencangkup 3 (tiga) hal, yaitu : Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
Peran adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Peran adalah suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. Dalam kehidupan berkelompok tadi akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Tumbuhnya interaksi diantara mereka ada saling ketergantungan. Dalam kehidupan bermasyarakat itu munculah apa yang dinamakan peran (role).
Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas ada baiknya terlebih dahulu kita pahami tentang pengertian peran, (Miftah Thoha, 1997:22). Dari beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang atau sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki status atau kedudukan tertentu. Berdasarkan hal-hal diatas dapat diartikan bahwa apabila dihubungkan dengan dinas perhubungan, peran tidak berarti sebagai hak dan kewajiban individu, melainkan merupakan tugas dan wewenang dinas perhubungan.
B. Desa
1. Pengertian Desa
Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village yang diartikan sebagai “ a groups of houses or shops in a country area, smaller than and town “. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewewenangan untuk mengurus rumah tangganya berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasiona dan berada di Daerah Kabupaten.
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa: (Widjaja, HAW 2003:21) Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkasan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut R. Bintarto, berdasarkan tinajuan geografi yang dikemukakannya, desa merupakan suatu hasil perwujudan geografis, sosial, politik, dan cultural yang terdapat disuatu daerah serta memiliki hubungan timbal balik dengan daerah lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, desa adalah suatu kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai system pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan (R. Bintaro 1989:22).
Pengertian tentang desa menurut undang-undang adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pasal 1, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1, Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yangdiakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 1, Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut , adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1, Desa adalah Desa dan adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian sebagai suatu bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui otonominya dan Kepala melalui pemerintah dapat diberikan penugasan pendelegasian dari pemrintahan atauoun dari pemerintahan daerah untuk melaksanakan pemerintahan tertentu. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai adalah keanekaragaman, partisipai, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah penyelenggaraanurusan pemerintahan oleh Pemerintahan dan Badan Permusyawaratan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-ususl dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merupakan suatu kegiatan pemerintah , lebih jelasnya pemikiran ini didasarkan bahwa penyelenggaraan tata kelola (disingkat penyelenggara ), atau yang dikenal selama ini sebagai “Pemerintahan ”. Kepala adalah pelaksana kebijakan sedangkan Badan Pemusyawaratan dan lembaga pembuatan dan pengawasan kebijakan (Paraturan ).
Menurut Zakaria dalam Wahjudin Sumpeno dalam Candra Kusuma8 menyatakan bahwa desa adalah sekumpulan yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu serangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan sendiri, serta berada diwilayah pimpinan yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Sedangkan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 Tentang pasal 6 menyebutkan bahwa Pemerintahan Permusyawaratan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adatistiadat setempat yang diakui dan dihormti dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Candra Kusuma Putra, Ratih Nur Pratiwi, suwondo 2010:13).
Dengan demikian sebagai suatu bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui otonominya dan Kepala melalui pemerintah dapat diberikan penugasan pendelegasian dari pemerintahan ataupun pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sebagaiunit organisasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat dengan segala latar belakang kepentingan dan kebutuhannya mempunyai peranan yang sangat strategis, khususnya dalam pelaksanaan tugas dibidang pelayanan publik. Maka desentralisasi kewenangan-kewenangan yang lebih besar disertai dengan pembiayaan dan bantuan sarana prasarana yang memadai mutlak diperlukan guna penguatan otonomi menuju kemandirian dan alokasi.
Dalam pengertian menurut Widjaja dan Undang-Undang di atas sangat jelas sekali bahwa desa merupakan self community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan Otonomi Daerah.
Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni:
1. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
2. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Desa juga memiliki hak dan kewajiban yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni, Desa berhak:
a. Mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal- usul, adat-istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa;
b. Menetapkan dan mengelola kelembagaan desa;
c. Mendapatkan sumber pendapatan;
Desa berkewajiban;
a. Melindungi dan menjaga persatuan, keatuan serta kerukunan masyarakat desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. Mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa; dan
e. Memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa;
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga ditingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untukpembentukan desa yakni: pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga, kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat, ketiga, faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun, keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.
2. Otonomi Desa
Menurut Widjaja menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknyapemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan (Widjaja, HAW 2003:165).
Berkaitan dengan otonomi asli menurut Fakrulloh dkk bahwa: dalam mekmanai otonomi asli terdapat dua aliran pemikiran yaitu: (1) aliran pemikiran pertama memakai kata otonomi asli sebagai adat atau dekat dengan sosial budaya, (2) aliran pemikiran yang memaknai sebagai otonomi asli yang diberikan, oleh karenanya digagasan pemikiran bahwa otonomi desa sebagai otonomi masyarakat sehingga lebih tepat disebut otonomi masyarakat desa (Fakrullah, Zudan, dkk. 2004:7).
Juliantara menerangkan bahwa otonomi desa bukanlah sebuah kedaulatan melainkan pengakuan adanya hak untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dengan dasar prakarsa dari masyarakat. Otonomi dengan sendirinya dapat menutup pintu intervensi institusi diatasnya, sebaliknya tidak dibenarkan proses intervensi yang serba paksa, mendadak, dan tidak melihat realitas komunitas (Juliantara, Dadang 2003:8).
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusanpemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa, namun dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap mengunjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah provinsi maupun daerah Kabupaten dan daerah Kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha menjelaskan sebagai berikut:
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya, dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.
Undang-Undang Desa mengatur tata kelola pemerintahan desa, baik perangkat, masyarakat, maupun pengembangan ekonomi yang mungkin dikembangkan di desa serta penguatan sistem informasi desa. Pemerintah desa memilikikewenangan tinggi dalam pengembangan desa. Selain itu, dibangunnya mekanisme checks and balances kewenangan di desa dengan pengaktifan BPD untuk mendorong akuntabilitas pelayanan yang lebih baik kepada warga desa. Bila Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini diterapkan secara sungguh-sungguh, akan terjadi pemberdayaan dari unit pemerintahan desa untuk menggerakkan roda pembangunan. Otonomi desa ini harus diiringi kesadaran akan pemahaman spirit otonomi bagi seluruh penggerak warga desa dan kapasitas perangkat juga masyarakat dalam memahami tata kelola pemerintahan.
Dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi Desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kaesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa Desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanan hak, wewenang dan kebebasan otonomi Desa menuntut tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengaturan eksistensi desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mesti diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa tumbuh disertai beberapa syarat yang mesti diperhatikan oleh pemerintah desa, masyarakat desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Syarat tersebut penting menjadi perhatian utama jika tidak ingin melihat kondisi desa bertambah malang nasibnya. Dari aspek kewenangan, terdapat tambahan kewenangan desa selainkewenangan yang didasarkan pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang- undang desa memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa, antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan desa, rembung desa dan jalan desa.
Konsekuensi dari pertambahan kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya desa dapat menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintah daerah untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supradesa. Untuk mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa memiliki kewenangan yang luas guna mengembangkan otonomi asli melalui sumber keuangan yang tersedia.
Sterilisasi desa dari perangkat desa yang berasal dari pegawai negeri sipil menjadi momentum bagi pemerintah desa untuk mengembangkan otonominya sesuai perencanaan yang diinginkan tanpa perlu takut di sensor ketat oleh sekretaris desa. Selain kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang telah ada dan kewenanganberskala lokal desa, semua kewenangan tambahan yang ditugaskan oleh pemerintah daerah maupun pusat hanya mungkin dilaksanakan jika disertai oleh pembiayaan yang jelas.
Terkait dengan itu, undang-undang desa menentukan bahwa sumber keuangan desa secara umum berasal dari APBN, APBD, PAD dan sumber lain yang sah. Jika diperkirakan pemerintah mampu menggelontorkan setiap desa sebanyak 10% dari total APBN, plus ADD sebesar 10% dari Pajak/Retribusi/DAU/DBH, ditambah Pendapatan Asli Desa dan sumbangan lain yang sah, maka setiap desa kemungkinan akan mengelola dana di atas 1 Milyar perdesa pada 72.944 desa di Indonesia.
Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang akan dilaksanakan, desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam mengintenfisikasi pelayanan publik serta pembangunan dalam skala yang lebih kecil. Kenyataan tersebut setidaknya mendorong otonomi yang dimiliki untuk menjadikan semua urusan yang telah diakui dan dihormati negara, ditambah urusan skala lokal bukan sekedar pajangan, tetapi akumulasi dari seluruh aset yang memungkinkan desa bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Sumber asli yang berasal dari desa dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik agar masyarakat dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa selama ini menggambarkan rendahnya dukungan sarana dan prasarana sehingga pelayanan di desa tak maksimal. Kantor desa bahkan secara umum tak berfungsi kecuali pada waktu-waktu tertentu. Dalam banyak hal desa harus diakui tertinggal dari berbagai aspekdisebabkan rendahnya dukungan pemerintah daerah sekalipun dalam semangat otonomi. Sementara sumber keuangan yang berasal dari APBN dapat diarahkan bagi kepentingan pembangunan desa. Tentu saja selain alokasi pembangunan yang berasal dari pemerintah, desa dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dalam jangka panjang sehingga terjadi pembangunan desa yang berkelanjutan. Realitas desa sejauh ini menunjukkan lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya kemiskinan dan pengangguran sehingga menurunkan daya saing desa dibanding kota. Sumber keuangan negara setidaknya berpeluang mendorong laju pertumbuhan ekonomi desa sehingga tak jauh ketinggalan dibanding kota.
Sekalipun demikian, alokasi APBN tidaklah merupakan wujud dari pendekatan local state government semata, tetapi lebih merupakan tanggungjawab negara yang diamanahkan konstitusi. Demikian pula alokasi APBD bukanlah merupakan manifestasi dari pendekatan local self government semata, namun perintah undang-undang pemerintahan daerah. Jadi, sekalipun desa dalam undang-undang ini bersifat self governing community, namun negara dan pemerintah daerah tetap bertanggungjawab untuk mengakui, menghormati dan memelihara keberlangsungan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa.
Bentuk pengakuan negara terhadap desa dapat dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman desa di berbagai daerah (asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari penghormatan negara terhadap desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara langsung yang akan dikelola desa (asas subsidiaritas). Penggunaan keduaasas tersebut sekalipun didahului oleh pengakuan konstitusi atas keragaman dan batasan desa dalam pengertian umum (desa, desa adat dan atau nama lain), setidaknya menjadi pijakan konkrit dalam pengaturan desa lebih lanjut di tingkat daerah masing-masing. Terkait postur organisasi pemerintahan desa, batasan pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa semata tanpa posisi BPD. Batasan tersebut berbeda jika dibandingkan dengan pengaturan dalam PP Nomor 72 tahun 2005, dimana pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan BPD. Pemisahan posisi kepala desa beserta perangkatnya dari BPD memungkinkan pemerintahan desa lebih efektif dalam melaksanakan otonomi desa selain kewajiban dari supradesa.
Pengalaman menunjukkan bahwa kolektivitas kepala desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa sulit dilaksanakan karena kedua lembaga tak selalu sejalan dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan. Terpisahnya posisi BPD memungkinkan pemerintah desa dapat lebih leluasa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa pengawasan ketat BPD yang selama ini relatif sulit hidup sekamar dengan pemerintah desa. Bias dari kondisi semacam itu tak jarang membuat desa kurang dinamis, bahkan statis karena saling menunggu persetujuan yang berlarut-larut. Selain itu, separasi semacam itu bertujuan untuk menciptakan pemerintahan desa yang lebih modern, dimana secara politik terjadi diferensiasi antara desainer kebijakan (BPD) dan implementator kebijakan (kepala desa).
BPD setidaknya mewakili masyarakat yang dipilih secara demokratis untuk membahas suatu kebijakan sebelum dilaksanakan oleh pemerintah desa. Kebijakan desa dimulai dari tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi. Perencanaan desa merupakan perencanaan jangka menengah yang dijabarkan dalam bentuk perencanaan pembangunan tahunan. Perencanaan desa dapat dikembangkan sejalan dengan periodisasi kepemimpinan kepala desa yang dapat mencapai tiga kali masing-masing selama enam tahun. Artinya, perencanaan menengah desa dapat berjalan selama 18 tahun bergantung pada elektabilitas kepala desa. Dengan demikian selama periodisasi yang relatif lebih lama dibanding kepala daerah yang hanya dua periode, desa dengan sendirinya berpeluang meletakkan perencanaan secara berkelanjutan melalui prioritas yang disepakati bersama masyarakat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, desa membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Peluang bagi pengembangan otonomi desa yang demokratis tampak terbuka lebar dimana masyarakat berhak memperoleh informasi, melakukan pemantauan serta melaporkan semua aktivitas yang dinilai kurang transparan kepada pemerintah desa dan BPD. Proses semacam ini merupakan bentuk pembelajaran partisipasi demokrasi melalui siklus perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan di desa.
Dengan demikian tercipta mekanisme bottom up yang senyatanya, bukan rekayasa musyawarah pembangunan desa seperti yang terjadi selama ini. Pembangunan desa sejauh ini tak memperlihatkan hasil signifikan karena tak jelas darimana sumber penunjangnya. Alokasi dana desa yang semestinya terjadi tampak bergantung pada kemurahan hati pemerintah daerah. Sementara pendapatan asli desa menyusut hingga tak bersisa akibat meresapnya peraturandaerah hingga ke kawasan desa yang paling strategis. Dalam regulasi inilah pembangunan desa diharapkan dapat ditopang lewat aset desa, termasuk sumber keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Aset Desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. Sumber keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa, negara, pemerintah daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan BUM desa dapat digunakan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Pembangunan desa juga meliputi upaya pengembangan kawasan desa dengan maksud untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Desa memiliki hak untuk dilibatkan dalam perencanaan makro pemerintah daerah sehingga desa tak sekedar menjadi objek pembangunan semata. Selain itu desa berhak memperoleh akses informasi yang dapat dikelola bagi kepentingan stakeholders terkait. Hal itu mendukung terciptanya proses pemerintahan yang lebih transparan dalam kerangka good governance. Lebih dari itu peluang pengembangan otonomi memungkinkan desa dapat meluaskan pembangunan melalui strategi kerjasama dengan desa lain yang saling menguntungkan.
3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah, badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyulurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa (A.W. Widjaja 1993:35).
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
Badan Permusyawaratan Desa merupakan organisasi yang berfungsi sebagai badan yang menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggotanya adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. BPD mempunyai peran yang besar dalam membantu Kepala Desa untuk menyusun perencanaan desa dan pembangunan desa secara keseluruhan.
Salah satu tugas pokok yang dilaksanakan lembaga ini (BPD) adalah berkewajiban dalam menyalurkan aspirasi dan meningkatkan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana juga diatur dalam PP. No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, BPD dituntut mampu menjadi aspirator dan articulator antara masyarakat desa dengan pejabat atua instansi yang berwenang. Selama ini, pembahasan mengenai desa dan pengaturan kebijakan mengenai pemerintahan desa belum pernah dilakukan secara mendalam dan menyeluruh melalui suatu proses kontrak social yang terbuka. Penyusunan kebijakan pengaturan mengenai desa cenderng elitis dan tertutup sehingga hasilnya hamper selalu menimbulkan “kejutan-kejutan” di kalangan masyarakat luas. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung menjadi system pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa (Bamusdes). Persoalan mengenai Bamusdes sebenarnya bukan hanya pada system pengangkatannya, tetapi juga pada fungsi (peran) yang harus dilakukan bersama dengan kepala desa yang dipilih menyusun dan mengesahkan peraturan-peraturan desa. Akibatnya, secara popular legitimasi aturan-aturan desa yang ditetapkan dapat dinilai tidak kuat.
Fungsi pengawasn Bamusdes terhadap kinerja kepala desa di dalam PP No. 72 Tahun 2005 tidak ada. Kepala des dipilih secara langsung oleh rakyat desa tetapi pertanggungjawabannya tidak kembali kepada rakyat desa sebagai konstituenya melainkan kepada Bupati melalui Camat. Mekanisme pertanggungjawaban kepala desa ini jelas mencedarai prinsip transparansi danakuntabilitas kepada desa yang dapat berakibat pada responsivitas kepala desa terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat desa rendah (Abdul Ghafar Karim 2003:45).
Anggota BPD terdiri dari tokoh-tokoh agama, adat, organisasi social politik, golongan profesi dan unsure pemuka masyarakat lainnya yang memenuhi persyaratan yang dipilih dari dan oleh penduduk desa. Untuk melaksanakan pemilihan anggota BPD tersebut di atas Kepala Desa membentuk Panitia pemilihan yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa, keanggotannya sebanyak-banyaknya 9 (Sembilan) orang yang terdiri dari 1 orang ketua merangkap anggota, 1 orang Sekretaris merangkap anggota, dan 7 orang anggota. Lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah, ditempuh usaha untuk meningkatkan saling pengertian dan kerja sama antara aparatur pemerintah yang ada di daerah, dan antara aparatur pemerintah tersebut tersebut dengan dunia usha dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan antara lain dengan melakukan informasi, memperlancar komunikasi, meningkatkan kesempatan, dan mengkordinasikan serta menyerasikan berbagai langkah kegiatan pembangunan di daerah.
Mendukung perwujudan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Tingkat II, program pendayagunaan aparatur pemerintah juga ditujukan pada usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuanteknis dan manajemen aparatur pemerintah Daerah Tingkat II khususnya perangkat Dinas-dinasnya (Bambang Yudyono 2000:45).
4. Peran Badan Permusyawaratan Desa
Penerapan otonomi desa sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa serta Perda Bukumba No. 13 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus diarahkan kepada upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing desa dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan desa. Untuk mewujudkan kesejahteraan itu, nilai-nilai dalam otonomi desa yang harus dikembangkan adalah: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Nilai-nilai dalam otonomi tersebut merupakan unsur-unsur dari demokratisasi penyelenggaraan negara.
Dengan demikian, konsep demokrasi, otonomi desa, dan partisipasi masyarakat merupakan tiga hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.Pembukaan ruang bagi partisipasi masyarakat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa adalah inti dasar dari Negara demokrasi.Demikian juga otonomi desa, hendaknya juga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan demikian konsolidasi demokrasi hendaknya dibarengi dengan proses menuju penyelenggaraan Negara berdasarkan partisipasi masyarakat melalui upaya-upaya perwujudan otonomi desa.
Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia era “hukum yang berorientasi pada birokrat” yang selama ini mendominasi sistem hukum di Indonesia sudah saatnya diganti dengan hukum yang lebih demokratis, yang melayani dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak, dan penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Proses perancangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia baik secara normatif maupun dalam praktik masih cendrung besifat elitis, tertutup dan hanya memberi peluang yang sangat minimal bagi partisipasi masyarakat luas dalam proses tersebut. Para stakeholder seringkali justru ditinggalkan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, padahal stake holder merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap lahirnya suatu peraturan perundang-undangan.
Peraturan Desa (Perdes), merupakan bentuk peraturan perundangundangan yang relatif baru, dalam kenyataan di lapangan belum begitu popular dibandingkan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang lain. Karena masih relatif baru dalam praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa, seringkali Perdes ini diabaikan.Bahkan masih banyak dari pemerintah dan bahkan masyarakat desa mengabaikan Perdes ini sebagai dasar penyelenggaraan urusan pemerintahan di tingkat desa. Kenyataan seperti itu berdampak pada kurangnya perhatian pemerintah desa dalam proses penyusunan sampai pada implementasi suatu Perdes. Banyak pemerintah desa yang mengganggap “pokoknya ada atau asal ada” terhadap peraturan desa, sehingga seringkali Perdes disusun secara sembarangan.Padahal Perdes hendaknya disusun secara sungguh-sungguh berdasarkan kaidah demokrasi dan partisipasi masyarakat melalui legislator desa atau lebih dikenal dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sehingga benar-benar dapat dijadikan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Sejak lahirnya Perdes sebagai dasar hukum yang baru bagi penyelenggraan pemerintahan di desa, pembentukannya lebih banyak atau bahkan hampir seluruhnya disusun oleh pemerintah desa tanpa melibatkan lembaga legislatif di tingkat desa (Badan Perwakilan Desa dan sekarang disebut Badan Permusyawaratan Desa), apalagi melibatkan masyarakat. Padahal demokratisasi penyusunan perundang-undangan bukan saja menjadi kebutuhan di aras nasional namun juga di aras lokal desa. Sejalan dengan berkembangnya otonomi desa atau otonomi masyarakat, di desa sangat diharapkan peranan anggota BPD yang signifikan dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Demikian juga peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Pada era otonomi desa dipandang perlu penguatan lembaga-lembaga desa serta penguatan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.Penguatan lembaga-lembaga desa serta organisasi masyarakat desa ini perlu supaya ada pembatasan dominasi kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintah di desa. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa serta Perda Bukumba No. 13 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa sangat terbuka lebar dengan adanya peran Badan Permusyawaratan Desa, yaitu fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan bersama kepala desa menetapkan peraturan desa (Perdes). Fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi dan fungsi menetapkan Perdes yang dimiliki Badan Permusyawaratan Desa merupakan sarana penting bagi pelembagaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa .
Pembuatan Perdes dalam konteks otonomi desa hendaknya ditujukan dalam kerangka:
a. Melindungi dan memperluas ruang otonomi dan kebebasan masyarakat,
b. Membatasi kekuasaan (kewenangan dan intervensi) pemerintah daerah dan pusat, serta melindungi hak-hak prakarsa masyarakat desa,
c. Menjamin kekebasan masyarakat desa,
d. Melindungi dan membela kelompok yang lemah di desa,
e. Menjamin partisipasi masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan antara lain, dengan memastikan bahwa masyarakat desa terwakili kepentingannya dalam Badan Permusyawaratan Desa,
f. Memfasilitasi perbaikan dan pengembangan kondisi sosial politik dan social ekonomi masyarakat desa.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan Kepala Desa mempunyaikedudukan setara, karena kedua belah pihak sama-sama dipilih oleh anggota masyarakat desa tetapi kalau dilihat dari proses pemberhentian, terkesan BPD berkedudukan lebih tinggi, dimana BPD mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati. Sementara Kepala Desa tidak lebih dari pada itu, dalam proses penetapan perangkat desa, Kepala Desa harus meminta persetujuan kepada BPD. Namun, demikian kedua belah pihak tidak saling menjatuhkan karena sama-sama dilihat oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.
Kedudukan BPD dan pemerintah desa sejajar, artinya Kepala Desa dan BPD sama posisinya dan tidak ada yang berada lebih tinggi atau lebih rendah. Keduanya dipilih oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat. Hubungan antara BPD dengan pemerintah desa adalah mitra, artinya antara BPD dan kepala Desa harus bisa bekerja sama dalam penetapan peraturan desa dan APBDes. BPD mempunyai tugas konsultatif dengan kepala desa untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan desa, selain itu BPD juga berkewajiban untuk membantu memperlancar pelaksanaan tugas kepala desa. Mengingat bahwa BPD dan Kepala desa itu kedudukannya setara maka antara BPD dan kepala desa tidak boleh saling menjatuhkan tetapi harus dapat meningkatkan pelaksanaan koordinasi guna mewujudkan kerjasama yang mantap dalam proses pelaksanaan pembangunan yang merupakan perwujudan dari peraturan desa.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris “research”.Research itu sendiri berasal dari kata “re”, yang berarti kembali dan “to search” yang berarti mencari kembali.Dari penjelasan tersebut maka arti sebenarnya dari “research” itu sendiri adalah mencari kembali.Sedangkan metode pengetahuan adalah suatu usaha atau upaya untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan.Usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan suatu metode ilmiah (Soerjono Soekamto 1985: 4).
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metoda atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu. Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dapat berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan. Metodologi itu sendiri pada hakekatnya memberikan pedoman tata cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan yang dihadapinya.
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. (Soerjono Soekanto 1986:5)
Hasil akhir yang diharapkan dari metode penelitian ini adalah kebenaran ilmiah. Untuk itu kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan suatu pedoman atau petunjuk ke arah mana langkah-langkah harus dijalankan beserta urutannya yang dilakukan secara konseptual, rinci, terarah, sistematis dan kompabilitas satu sama lain akhirnya data yang diperoleh dari penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui atau menggmbarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang objektif dalam rangka mengetahui peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat terkait dengan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
3. Fokus penelitian
Agar penelitian terarah, maka jangkauan dari ruang lingkup penelitian ini perlu ditegaskan. Sesuai dengan judul yang penuis angkat, oleh karna itu penelitian ini difokuskan pada pengamatan dan penelitian terkait peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
4. Sumber Data
i. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap sangat berpotensi dalam memberikan data yang relevan dan sebenarnya.
ii. Data sekunder
Data sekunder adalah sebagai data pendukung dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi atau perusahaan dengan permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan, bahan pustaka dan laporan-laporan penelitian.
5. Narasumber atau Informan
Narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berpotensi untuk memberikan informasi tentang bagaimana peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah :
i. Badan Permusyawaratan Desa Batujai
ii. Kepala Desa Batujai
6. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
i. Observasi
Observasi yakni pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Kegiatan pengamatan terhadap objek penelitian untuk memperoleh keterangan data yang lebih akurat mengenai hal-hal yang diteliti.
ii. Wawancara
Wawancara yakni kegiatan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data guna kelengkapan data-data yang diperoleh sebelumnya.
iii. Dokumentasi
Telaah dokumen yaitu mengkaji dokumen-dokumen baik berupa buku referensi maupun peraturan atau pasal yang berhubungan dengan penelitian ini guna melengkapi materi-materi yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan.
7. Teknik Analisis Data
Untuk menghasilkan dan memperoleh data yang akurat dan objektif sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, maka analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dengan cara analisis konteks dari telaah pustaka dan analisis pernyataan dari hasil wawancara dari informan. Dalam melakukan análisis data peneliti mengacu pada beberapa tahapan yang terdiri dari beberapa tahapan antara lain:
1. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk menunjang penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan.
2. Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan selama meneliti.
3. Penyajian data (data display) yaitu kegiatan sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif, grafik jaringan, tabel dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman penelitian terhadap informasi yang dipilih kemudian disajikan dalam tabel ataupun uraian penjelasan.
Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclution drawing/ verification), yang mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi.Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data di uji validitasnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Profil Desa Batujai, Kecamatan Peraya Barat, Kabupaten Lombok Tengah
2. Asal Mula Desa Batujai
Setelah berakhirnya Kerajaan Majapahit, maka keluarga besar dari majapahit bubar dan berserakan meninggalkan keraton Majapahit, yang antara lain seorang keluarga raja bernama Sri Maha Raja Mas Mulia telah mengungsi ke Klungkung Bali, karena ada hubungan keluarga dengan raja klungkung.
Dari Klungkung beliau hijrah ke pulau lombok (Rincung Lombok Barat) beserta pengikut / pengiring yang berasal dari majapahit ditambah lagi dengan beberapa pengiringnya yang berasal dari klungkung, Tidak lama lagi pindah ke Gunung Pujut Kecamatan Pujut Lombok Tengah bersama pengiringnya yang dari majapahit, sedangkan pengiringnya yang berasal dari klungkung diam dan tinggal di rincung sampai sekarang.
Di kediaman beliau di Gunung Pujut ini terbentuk dan berkembang kerajaan kecil yang diperintah secara turun tumurun seperti di bawah ini :
1. Seri Maha Raja Mas Mulia
2. Seri Maha Raja Mas Mayang
3. Seri Maha Raja Mas Dipati
4. Seri Maha Raja Mas Elem (Memeluk Agama Islam Dengan Keturunannya)
5. Raden Telem
6. Raden Hukum
7. Raden Pademi ( keturunan Raden Pademi ini mekar lagi dan hijrah kedesa-desa : Sengkol, Batujai, Sukerara, dan Bonjeruk).
Bahwa yang hijrah ke Batujai bernama Raden Lumbit, dan Raden Lumbit inilah cikal bakal dari keturunan dan pendiri Desa Batujai, yang diperkirakan pembentukan pemerintahan pertama di Desa Batujai pada tahun 1725.
3. Batas wilayah Desa Batujai sebagai berikut :
· Sebelah Utara : Kelurahan Semayan, Panji sari (Praya), Desa Puyung, Sukarar (Jonggat)
· Sebelah Selatan : Desa Penujak dan Desa Darek
· Sebelah Barat : Desa Ungga (Praya Barat Daya), Sukerara (Jonggat)
· Sebelah Timur : Desa Penujak dan Lurah Sasake (Praya)
4. Orbitasi ;
· Jarak ke Ibu Kota Provinsi : 36 Km
· Jarak ke Ibu Kota Kabupaten : 5 Km
· Jarak ke Ibu Kota kecamatan : 0,5 Km
5. Iklim ;
· Curah hujan : 335 Mm/Th.
· Suhu rata – rata : 30 C
· tinggi tempat : 750 Mdl
· Bentang wilayah : Datar
Iklim Desa Batujai, sebagaimana desa lain di wilayah Indonesia mempunyai Iklim Kemarau dan Penghujan, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat.Kondisi iklim di sebagian besar Desa Batujai tidak jauh beda dengan kondisi iklim wilayah kecamatan Praya lainnyasecara umum dengan dua musim, yaitu musim kemarau yang berlangsung antara bulan Juni hingga Agustus dan musim hujan antara bulan September hingga Mei dengan temperatur / suhu udara pada tahun 2009 rata - rata berkisar antara 22,22 °C sampai 30,46 °C dan suhu maksimum terjadi pada bulan Oktober dengan suhu 32,10 °C serta suhu minimum 20,70 °C terjadi pada bulan Juni. Kelembaban udara berkisar antara 81,58 %, kelembaban udara maksimum terjadi pada bulan Maret dan Nopember sebesar 86,00 % sedangkan kelembaban minimum terjadi pada bulan September dan Agustus sebesar 77,00 %.Lamanya penyinaran matahari yang terjadi selama tahun 2009 rata - rata 68,67 %, lamanya penyinaran matahari maksimum terjadi pada bulan Juli sebesar 86,00 % dan lamanya penyinaran matahari minimum terjadi pada bulan Februari, Nopember dan Desember sebesar 49,00 %. Kecepatan angin rata-rata yang terjadi selama tahun 2009 sebesar 207/8 knot, kecepatan maksimun terjadi pada bulan Februari yaitu 270/10 knot, sedangkan kecepatan minimum terjadi pada bulan Mei sebesar 135/8 knot. Tekanan udara yang ditandai dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Tekanan udara berkisar antara 1.001,60 mbs – 1.006,60 mbs. Sedangkan keadaan curah hujan pada tahun 2009 sebesar 1000 / 1500 mm dengan curah hujan terendah bulan Juli sebesar 0,00 mm dan curah hujan tertinggi pada bulan Nopember sebesar 448,90 mm.
6. Jumlah Penduduk ;
· Jumlah Total : 15.136 Orang
· Jumlah laki – laki : 415 Orang
· Jumlah Perempuan : 721 Orang
· Jumlah KK : 337 KK
· Jumlah Penduduk Miskin : RTM
7. Pendidikan ;
· Belum sekolah : 270 Orang
· Tidak pernah sekolah : 948 Orang
· Drop out : 916 Orang
· TK dan PAUD : 175 Orang
· Tamat SD / Sederajat : 661 Orang
· Tamat SLTP : 022 Orang
· Tamat SLTA : 551 Orang
· Tamat D 3 : 240 Orang
· Tamat S 1 : 316 Orang
· Tamat S 2 : 36 Orang
· Tamat S 3 : 1 Orang
8. Lembaga Pemerintahan Desa ;
· Jumlah Aparat Desa : 7 Orang
· Pendidikan Kepala Desa : S1
· Pendidikan Sekretaris Desa : S1
· Pendidikan Kaur / Pembantu ;
· Kaur Pembangunan : SLTA
· Kaur Pemerintahan : SLTA
· Kaur Keuangan : SLTA
· Kaur Kemasyarakatan : SLTA
· Kaur Ketentraman & Ketertiban : SLTA
· Kaur Umum & Administrasi : SLTA
· Jumlah RW / RT
· Jumlah Dusun : 19 Dusun
9. Letak dan Luas Wilayah
Desa Batujai merupakan salah satu dari 10 Desa di Wilayah Kecamatan Praya Barat, yang terletak 1 Km ke arah Utara dari kota Kecamatan.
Desa Batujai mempunyai luas wilayah seluas 1.176 Ha.
10. Mata Pencaharian
Desa Batujai berdasarkan fakta geografis merupakan Desa Pertanian (agraris) tetapi yang perlu diketahui bahwa sebagian besar pemilik lahan pertanian di Desa Batujai merupakan hak milik/dikuasai oleh warga yang berasal dari luar wilyah Desa Batujai sehingga penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani sangat minim.
11. Pengelolaan Keuangan Desa Atau Penganggaran Keuangan Desa
Pengelolaan Keuangan desa mengacu pada peraturan menteri dalam negeri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa yaitu : Sumber pendapatan Desa, sistem Pengelolaan Desa, dan Penggunaan Keuangan Desa. Pengeloaan keuangan Desa Batujai dijabarkan dalam Peraturan Desa Batujai Nomor 03 Tahun 2010, tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
A. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintahan Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah
Perkembangan politik di Indonesia yang terus berkembang dari orde lama sampai sekarang.Kebijakan politik maupun pemerintahan orde lama lebih menekankan sikap sentralisasi, dimana semua urusan diserahkan sepenuhnya kepusat.Hal ini tentunya belum terdapat adanya otonomi daerah.Baik di tingkat desa sampai tingkat provinsi.Masing-masing daerah sepenuhnya disetir oleh pemerintah.
Di tingkat desa misalnya, kebijakan-kebijakan pemerintah melalui perangkat desa merupakan kebijakan atasannya dari camat, bupati, gubernur, sampai ke pusat, sehingga perangkat desa belum memaksimalkan keadaan desa yang dipimpinnya. Seiring dengan reformasi total mulai tahun 1998 di semua bidang yang sekarang dilakukan adalah berasal dari niat dan komitmen seluruh kekuatan rakyat untuk tetap percaya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi. Selain itu juga dituntut kemampuan seluruh lembaga negara, lembaga pemerintahan, dan rakyat, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itu secara tepat dan kesediaan semua pihak untuk menjalankannya. Munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (otonomi), Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan Peraturan Daerah Bulukumba No. 13 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa dipandang sebagai bagian dari proses besar demokratisasi.
Suatu otonomi bukan final, melainkan langkah awal.Dengan demikian isi dan realisasi isi dari otonomi menjadi sangat penting.Peralihan Indonesia menuju demokrasi dari pemerintahan otoriter menjadi peristiwa politik paling dramatis pada akhir abad ke-20.Meski kadang-kadang menyakitkan, transisi telah mengembalikan Indonesia kepada kebebasanyang sudah tak terlihat di negeri ini sejak eksperimen demokrasi yang berusia pendek pada 1950-an.
Kelahiran kebijakan pemerintah khususnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah ini membawa sebuah harapan baru bagi perjalanan bangsa ini ke masa depan yang lebih baik. Hal ini sangatlah wajar karena kebijakan sebelumnya yang nota bene melahirkan sebuah kenyataan politis yakni adanya sentralisasi di hampir segala bidang telah membawa dampak yang begitu besar dengan multi krisis sebagai akhir episode sebuah rezim.Kenyataan masa lalu memberitahu kepada kita semua satu hal namun berimplikasi pada sebuah multiplier effect yakni adanya kooptasi penguasa yang begitu membelenggu baik dari tingkat desa, desa sampai kepada individu-individu rakyat dalam masyarakat. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jiwa otonomi daerah sebenarnya adalah untuk membangun kemandirian daerah itu sendiri sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal.Kinerja demokrasi dapat diukur melalui sejauh mana produk kebijakan-kebijakan yang ada dapat menumbuhkan prakarsa masyarakat dan bukan sebuah ketergantungan.Penting disadari bahwa dalam kebijakan otonomi daerah, termuat pula segi mendasar yakni otonomi daerah yang bisa dikatakan sebagai saripati dari otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang.Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa yang dulunya Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. BPD merupakan mitra Kepala Desa dalam memberdayakan masyarakat desa yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, RT, RW yang dipilih oleh rakyat.Kepala desa dan perangkat desa tidak boleh menjadi anggota maupun ketua BPD, sehingga Kades tidak mempunyai peran penting bahkan kades diawasi oleh BPD. Sedangkan LMD seperti di jelaskan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 yang mengatur tentang LMD dimana pengurus LMD terdiri dari perangkat desa tokoh masyarakat dan ketuanya adalah kepala desa sehingga tampak Kades mempunyai peranan penting di desa atau otonom.
Namun apakah Badan Permusyawaratan Desa yang dibentuk tersebut dalam realisasinya sudah dapat mengontrol pemerintah desa dan sebaliknya apakah pemerintah desa dengan sistem pemerintahan yang baru ini juga sudah siap untuk dikontrol oleh rakyat melalui badan tersebut? Disinilah partisipasi rakyat melalui Badan Permusyawaratan Desa ini akan terlihat, karena lewat Badan Permusyawaratan Desa ini masyarakat dapat ikut menentukan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desanya dengan fungsi legislasi dan kontrol yang dimiliki (Dwi Jatmoko 2010:45).
Bertitik tolak dari pertanyaan sederhana tersebut, mari kita mencoba melihat secara jelas hasil penelitian penulis terkait dengan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah. Telah kita ketahui bersama bahwa peran utama BPD adalah bersama Kepala Desa membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat di samping itu BPD juga berfungsi sebagai legislator dan kontrol serta pengawas terhadap kinerja Pemerintah Desa.
Namun fakta di lapangan lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Batujai tidak melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik bahkan BPD terkesan melakukan kerja sama dengan pemerintah desa dalam melakukan penyalahgunaan wewenang. Pemerintah Desa Batujai dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak adamasalah. Padahal menurut penuturan salah seorang tokoh masyarakat Desa Batujai, Natsir melalui wawancara dengan penulis menuturkan PemerintahDesa Batujai dalam menjalankan tugas dan fungsinya sangat tidak professional dan terkesan KKN dengan indikator:
1. Hampir semua Perangkat Desa Batujai adalah orang dekat dan keluarga Kepala Desa termasuk Kepala Dusun;
2. Hampir setiap proyek pembangunan desa dikelolah dan dilaksanakan langsung oleh keluarga besar Kepala Desa kerjasama dengan anggota BPD, padahal dalam aturan sebenarnya pemerintah tidak boleh terlibat langsung dalam pengerjaan proyek. Bahkan awal tahun 2016 yang lalu ada proyek pembukaan jalan desa yang proses pengerjaannya diketuai langsung oleh Kepala Desa Lembah Batujai dan bendaharanya adalah adik kandung Kepala Desa dan anehnya hal ini terungkap dari pengakuan istri Ketua BPD (Nurhayati Aim) itu sendiri.
Dari indikator di atas terlihat jelas bahwa BPD Desa Batujai sangat lemah dalam menjalankan fungsi kontrol dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah Desa Lembang, bahkan menurut Zainuddin salah seorang warga Desa Batujai menuturkan bahwa ada dugaan terjadi kerja sama antara BPD dan Pemerintah Desa dalam melakukan penyalahgunaan wewenang untuk menguntungkan pribadi oknum masing-masing. Lebih lanjut Zainuddin mengatakan bahwa, BPD sama sekali tidak berpengaruh (antara ada dan tiada), dan hanya berfungsi pada saat menjelang pemilihan Kepala Desa karena Badan Permusyawaratan Desalah yang diberi kewenangan penuh dalam proses pembentukan panitia pemilihan.
Penuturan serupa disampaikan oleh Hamria bahwa, masyarakat Desa Batujai terkesan jalan sendiri-sendiri dan sangat jarang mendapat perhatian dari pemerintah desa karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dengan menganalisa problem tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Batujai telah gagal mengembang amanah sebagai legislator desa khususnya dalam program pemberdayaan masyarakat melalui program pembangunan desa. Padahal sebenarrnya kalau kita maknai secara baik, BPD mempunyai posisi yang stretegis dalam hal program pembangunan desa.
Secara hirarkis, BPD dengan Kepala Desa mempunyai kedudukan setara, karena kedua belah pihak sama-sama dipilih oleh anggota masyarakat desa tetapi kalau dilihat dari proses pemberhentian, terkesan BPD berkedudukan lebih tinggi, dimana BPD mempunyai kewenangan mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati. Sementara Kepala Desa tidak lebih dari pada itu, dalam proses penetapan perangkat desa, Kepala Desa harus meminta persetujuan kepada BPD. Namun, demikian kedua belah pihak tidak saling menjatuhkan karena sama-sama dilihat oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat.
Kedudukan BPD dan pemerintah desa sejajar, artinya Kepala Desa dan BPD sama posisinya dan tidak ada yang berada lebih tinggi atau lebih rendah, keduanya dipilih oleh masyarakat dan mengemban amanah dari masyarakat (Dwi Jatmiko 2008:32). Namun demikian bukan berarti BPD tidak memiliki kewenangan untuk bertindak secara tegas dalam menjalankan fungsi kontrol dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah Desa, perlu diketahui bahwa posisi boleh sama tapi kewenangan belum tentu sama dan hal itulah yang terjadi pada posisi BPD.
B. Efektivitas Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Terhadap Pemerintah Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh kedepan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan disertai keadilan untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.
2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap Desa, geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb.Desa adalah basis masyarakat dengan segala problematikanya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk Indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pesan kosong tanpa argumen yang valid.Dalam kerangka konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.
Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai problematikanya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai bentuk strategis kebijakan pemerintah.
Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen untuk mengesampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa sepertinya akan terus berlanjut. Undang-Undang No. 32/2004 yang mengantikan Undang-Undang No. 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.
Pemerintah Desa berdasarkan Undang-Undang No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut Undang-Undang No. 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam Undang-Undang No. 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa.Hal ini mengingatkan pengaturan desa dalam Undang-Undang No. 5/1975. Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam Pasal 206 Undang-Undang No. 32/2004yaitu :
1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 Undang-Undang No. 32/2004 yaitu :
1. Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
2. Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.
3. Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA
Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa.Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota.Padahal dalam pasal 200 dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa.Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan.Dengan demikian dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentukkannya. Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :
Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggungjawaban Kepala Desa dalam batang tubuh Undang-Undang No. 32/2004. Sistem pertanggungjawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggungjawabannya. Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan pertanggungjawaban yang bersifat vertikal (ke atas) dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.
Kedua: Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan pasal 208 Undang-Undang No. 32/2004 Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat Undang-Undang tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. Pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 Undang-Undang No. 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elastis dengan menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.
Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam Undang-Undang No. 32/2004 fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam Undang-Undang No. 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
Mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam Undang-Undang No. 32/2004 yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD)adalah respretatif dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah desa. Sedangkan di dalam Undang-Undang No. 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan.Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh anggota.Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat, Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabatkerabat Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.
Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam Undang-Undang No. 32/2004 terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya.Sekretaris Desa di isi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur Pegawai Negeri Sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.
Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya juga loyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada Kepala Desa. Namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu Bupati/Walikota. Loyalitas ganda inilah menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang.Sebab masuknya birokrasi intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa.Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.
Dari penjelasan diatas, maka penulis memperoleh beberapa aspek penting dari hasil penelitian yang telah dilakukan :
1. Peran dan fungsi BPD di Desa Batujai ditinjau dari sisi proses penyelenggaraan pemerintahan sangattidak aspiratif, dan terkesan tidak bertanggungjawab. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan mengundang kecurigaan dari warga masyarakat desa setempat. Ditinjau dari sisi produk, peran dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batujai, sampai saat ini belum ada yang dirasakan oleh masyarakat secara umum bahkan awal tahun 2018 terjadi mutasi Sekertaris Desa (Sekdes) dengan alasan yang tidak jelas dan terkesan disembunyikan. Hasil kinerja BPD di bidang pembangungan (fisik) contoh pembukaan dan pengerasan jalan desa, serta pembuatan jembatan. Itupun menuai kontroversi dikalangan masyarakat karena proses pengerjaannya ditangani langsung olehKepala Desa dan Ketua BPD, contoh lain bantuan sumur bor di tempatkan di lokasi kepala desa tanpa terlebih dahulu diadakan pembebasan lahan yang dikhawatirkan kelak nantinya diklaim oleh kepala desa sebagai miliknya karena berada di atas lahannya ketika berakhir masa jabatannya untuk periode ke-2 tahun 2020 mendatang.
2. Faktor penghambat efektivitas kinerja BPD yaitu kondisi sosial masyarakat yang masih belum percaya dengan adanya BPD, masyarakat masih merasa bahwa BPD belum benar-benar menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan dari masyarakat serta sumber daya anggota BPD yang masih relatif rendah, terbatasnya jumlah anggaran dari pemerintah, sumber Daya Manusia Perangkat Desa Batujai yang masih rendah dan sebagian Perangkat Desa maupun anggota BPD yang tidak secara aktif mensosialisasikan sebuah Peraturan Desa.
Rekomendasi yang diberikan antara lain:
1. Meningkatkan kinerja BPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, khususya yang terkait dengan fungsi kontrol dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah Desa yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat;
2. Perlu dikembangkan lebih intensif komunikasi yang sehat, baik secara horizontal maupun vertikal dan komunikasi yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi / kelompok;
3. Perlu adanya masukan dari lembaga-lembaga lain misal Pemdes, LPMD, Muspika yang bersifat membangun dan meningkatkan kinerja BPD demi tercapainya kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat;
4. Perlu mempertahankan kebersamaan antara BPD, Pemdes, LPMD dan masyarakat dalam menyikapi program yang diharapkan pemerintah dan keinginan masyarakat sesuai dengan kemajuan jaman;
5. Masyarakat harus lebih aktif dan kritis di dalam menyikapi berbagai kebijakan dan produk hukum yang dihasilkan oleh BPD, serta di dalam proses penyusunan kebijakan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang responsibilitas dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintahan yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat khususnya dalam program pembangunan desa. Namun fakta di lapangan berbicara lain, BPD Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah tidak dapat menjalankan perannya secara optimal disebabkan sumber daya anggota BPD sangat rendah, khususnya dalam bidang pendidikan sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya BPD tidak mengerti apa yang harus dilakukan terkait dengan fungsi kontrol dan fungsi pengawasan yang menjadi kewenangannya dalam mengontrol dan mengawasi kinerja Pemerintah Desa/Kepala Desa.
2. Di samping itu juga, peran BPD tidak efektif disebabkan oleh anggaran operasional BPD sangat minim, sehingga terkadang mengemis proyek kepada Pemerintah Desa/Kepala Desa demi untuk menambah pundi-pundi penghasilan. Hal ini mengundang terjadinya kerjasama yang tidak sehat/kongkalikong antara anggota BPD dan Pemerintah Desa/Kepala Desa Batujai dalam menyalahgunakan wewenangnya
B. Saran
1. Pemerintah hendaknya memperhatikan perkembangan lembaga BPD melalui program pendidikan khusus atau melalui pelatihan-pelatihan khusus secara berkesinambungan bagi para anggota BPD agar lebih mengetahui dan mengerti akan peran dan fungsinya sebagai Legislator Desa.
2. Pemerintah harusnya menambah anggaran operasional BPD agar program-program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, membenahi sarana dan prasarana serta membuatkan kantor tersendiri untuk BPD.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Beratha, N. Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa.Jakarta : Ghalia Indonesia, 1992.
Budiardjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia. Cet. III; Jakarta: PT. Gramedia, 1999.
Widjaja, HAW. Pemerintahan Desa/Marga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
Fakrullah, Zudan, dkk. 2004. Kebijakan Desentralisasi di Persimpangan. Jakarta. CV. Cipruy.
Ika Ramayanti, Rani. Kinerja BPD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.2004.
Jatmiko, Dwi. Kedudukan dan Peran Badan PermusyawaratanDesa.Surakarta: 2006.
Marwan.M dan Jimmy.Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Sudarsono.Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Syafiie, Inu Kencana. Sistem Administrasi Negara RI. Bandung: Bumi Aksara, 2003.
Tahir Azhari, Muhammad.Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945.Cet. I; Jakarta: Cerdas Pustaka, 2008
A.W. Widjaja, Pemerintah Desa dan Adminitrasi Desa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Bambang Yudyono, Otonomi Daerah Desentralissi dan Pengembangan SDM AparaturDaerah dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
Undang-undang :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah.Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah.Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Jakarta:Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
No comments:
Post a Comment